kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Defisit migas masih jadi penyebab lebarnya defisit transaksi berjalan


Jumat, 08 Februari 2019 / 21:10 WIB
Defisit migas masih jadi penyebab lebarnya defisit transaksi berjalan


Reporter: Benedicta Prima | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD) sepanjang 2018 tercatat US$ 31,1 miliar atau 2,98% dari PDB. Angka ini membengkak bila dibanding tahun sebelumnya yaitu defisit US$ 16,1 miliar atau 1,7% dari PDB.

"Defisit transaksi berjalan memang karena defisit neraca perdagangan barang," jelas Direktur Eksekutif Kepala Departemen Statistik Bank Indonesia (BI) Yati Kurniati, Jumat (8/2). Kondisi ini disebabkan surplus dari neraca non-migas terus mengalami penipisan, sedangkan neraca migas terus mengalami defisit.

Berdasarkan data milik BI, tercatat neraca non-migas sepanjang 2018 surplus US$ 11,16 miliar, sedangkan neraca migas defisit US$ 11,58 miliar. Surplus non-migas menurun tajam bila dibanding tahun sebelumnya yang tercatat US$ 25,26 miliar. Sedangkan neraca migas terus menunjukkan pelebaran dari tahun sebelumnya yang tercatat defisit US$ 7,35 miliar.

Neraca non-migas terus mengalami penipisan surplus karena kinerja ekspor sangat tergantung pada kondisi global. Tahun 2018, permintaan global melambat seiring dengan ketidakpastian yang tinggi, serta harga komoditas yang turun. Pasalnya Indonesia banyak melakukan ekspor untuk komoditas primer, lebih dari 50%. "Hanya produk bahan bakar dan pertambangan yang masih tumbuh positif," jelas Yati.

Sedangkan impor masih tinggi, disebabkan oleh impor mesin dan peralatan mekanik serta alat berat untuk kontruksi maupun menunjang infrastruktur. Sedangkan untuk logam mulia paling besar impor besi dan baja.

Kendati demikian, jelas Yati, industri manufaktur masih memberi harapan sebab secara nominal tumbuh 8,84% sedangkan harga juga tumbuh 7,4%. Apalagi dengan adanya kebijakan pemerintah yang menggalakkan komoditas manufaktur pilihan yang akan ditingkatkan ekspornya (picking the winner).

Selain itu, Yati juga menyebutkan perlunya akselerasi pada sektor pariwisata. Dimulai dari sarana pendukungnya seperti pembangunan infrastruktur jalan sebagai sarana mempermudah sampai ke lokasi, sarana amenities, hingga perluasan bandara dan layanan direct flight alias penerbangan langsung.

Yati juga menyebutkan beberapa kebijakan yang dibuat pemerintah seperti B20 serta penundaan pembangunan infrastruktur belum begitu terasa untuk menekan CAD sepanjang 2018. Pasalnya, kebijakan tersebut baru berlaku efektif pada triwulan III dan IV di tahun 2018. Apalagi penundaan infrastruktur dilakukan untuk beberapa proyek saja sehingga impor masih lebih tinggi.

Kendati masih banyak pekerjaan jangka panjang yang mesti dilakukan pemerintah, Yati optimis CAD 2019 bisa sesuai target dikisaran 2,5% dari PDB. Utamanya apabila pemerintah fokus pada perbaikan pariwisata yang memberikan hasil lebih cepat ketimbang perbaikan pada sektor manufaktur. Apalagi di sisi ekspor travel pariwisata sepanjang 2018 mendapat total US$ 14,1 miliar, meningkat dari tahun lalu yang sebesar US$ 13,1 miliar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×