Reporter: Eldo Christoffel Rafael | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan masih dibekap berbagai masalah yang bermuara pada defisit dana. Kebijakan menaikkan iuran dianggap bukan solusi ampuh membenahi pengelolaan BPJS Kesehatan yang diharapkan semua pihak.
Defisit BPJS Kesehatan itupun dikeluhkan para praktisi bidang kesehatan, terutama manajemen rumah sakit dan klinik swasta. Bahkan, sejalan dengan defisit tersebut, pada tahun ini tunggakan BPJS Kesehatan kepada rumah sakit di seluruh Indonesia, makin menumpuk.
Berdasarkan catatan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), tunggakan BPJS Kesehatan pada 2019 telah mencapai Rp 6,5 triliun.
Baca Juga: Pendapatan Phapros (PEHA) diproyeksi naik 11,9%, ini rekomendasi Danareksa Sekuritas
Akibatnya, banyak rumah sakit yang didera kendala operasional, seperti putusnya pasokan obat dari para vendor karena ketiadaan dana, hingga tunggakan gaji kepada para dokter.
Di sisi lain, secara manajerial, BPJS Kesehatan juga memberikan imbas negatif kepada klinik-klinik swasta. Saat ini, dengan menggenggam BPJS Kesehatan, masyarakat lebih memilih fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) di Puskesmas, dengan rujukan langsung ke rumah sakit.
Alhasil, lama kelamaan klinik-klinik swasta inipun rontok. Sebaliknya, pihak pemerintah juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempunyai argumentasi berbeda terkait defisit anggaran BPJS Kesehatan.
Dosen Hukum Kesehatan Universitas Atmajaya dr. Erfen Gustiawan Suwanto menilai kompleksitas masalah BPJS Kesehatan berakar kepada mental bobrok. Menurutnya, perangkat peraturan BPJS Kesehatan cukup komplit, termasuk aturan tentang fraud.
“Soal Fraud itu ada Permenkes 36/2016, isinya sekitar 10 jenis fraud. Kalau RS ya soal penaikan jumlah klaim yang tak benar, BPJS juga bisa melakukan downgrade klaim yang juga tak benar, termasuk pasien dan dokter pun berpotensi melakukan fraud tersebut,” kata Erfen dalam keterangan pers, Minggu (29/9).
Baca Juga: Mengulik prospek Indofarma (INAF) setelah jalin kerjasama dengan perusahaan Korea
Lebih jauh, Erfen menilai fraud terkait BPJS Kesehatan dipengaruhi banyak hal. Pertama, terkait skala keekonomian tarif BPJS Kesehatan.
“Selama ini pemerintah memasang tarif dengan mengacu ke fasilitas kesehatan negeri, seperti RS negeri, yang semuanya digaji sama negara. Sedangkan RS swasta kan berbeda, harus membayar gaji dan operasional sendiri, namun disamakan tarifnya, ini yang membuat RS swasta melakukan tindakan yang tidak benar,” katanya.