Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengaku pihaknya akan mengalami defisit sebesar Rp 77,9 triliun pada 2024 jika iuran program jaminan kesehatan nasional (JKN) tak dinaikkan dan upaya bauran kebijakan tidak diterapkan.
Berdasarkan rencana kerja BPJS Kesehatan, pada 2019 defisit BPJS Kesehatan akan mencapai Rp 32,8 triliun, meningkat menjadi Rp 39,5 triliun di 2020, di 2021 menjadi Rp 50,1 triliun, di 2022 Rp 58,6 triliun, di 2023 Rp 67,3 triliun dan sebesar Rp 77,9 triliun di 2024.
Baca Juga: Berkumur dengan air garam dapat redakan sakit tenggorokan
"Memang pada saat penyusunan proyeksi ini dengan harapan bauran-bauran kebijakan sejak awal tahun 2019 itu sudah dijalankan. Tetapi sampai hari ini kami tetap terus berproses untuk mempercepat bauran kebijakan untuk dijalankan," ujar Fahmi di gedung komisi XI DPR, Senin (2/9).
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengatakan, defisit yang semakin lebar ini disebabkan berbagai faktor. Faktor tersebut disebabkan karena akses yang semakin baik, fasilitas kesehatan semakin bertambah dan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat ditambah penyakit katastropik yang mendominasi pola pembiayaan saat ini.
Fahmi menjelaskan, saat ini biaya yang dikeluarkan untuk peserta lebih tinggi dibandingkan premi yang diterima. Menurutnya, ini lah yang mendasari mengapa peningkatan premi per peserta per orang perlu dilakukan.
"Ditemukan ada under price terhadap iuran. Rata-rata iuran tahun 2018 Rp 36.200, kemudian biaya per orang per bulan Rp 46.500 artinya memang ada gap Rp 13.000. Kemudian tahun 2019 biaya per orang per bulan Rp 50.700 kemudian premi per orang rata-rata Rp 36.700," tutur Fahmi.
Baca Juga: Iuran BJPS Kesehatan naik, daya saing industri kimia akan melemah
Lebih lanjut Fahmi berharap dengan adanya perbaikan fundamental terhadap iuran program JKN, maka persoalan defisit BPJS Kesehatan dapat deselesaikan dengan lebih terstruktur.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News