Reporter: Asep Munazat Zatnika |
JAKARTA. Defisit anggaran tahun 2014 diperkirakan akan lebih besar dari hitungan awal pemerintah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2014. Menurut Menteri Keuangan Chatib Basri, defisit diperkirakan membengkak Rp 55,3 triliun dari RAPBN yang disusun sebelumnya sebesar Rp 154,2 triliun menjadi Rp 209,5 triliun.
Jika dibandingkan terhadap total Penerimaan Domestik Bruto (PDB) defisit anggaran sebesar 2,02%.
Chatib bilang, membengkaknya angka defisit ini disebabkan oleh turunnya proyeksi penerimaan negara serta di sisi lain belanja pemerintah pusat. Pendapatan negara diperkirakan turun menjadi Rp 1.640,3 triliun dari proyeksi semula sebesar Rp 1.662,5 triliun dalam RAPBN 2014.
Sementara dalam anggaran belanja pemerintah pusat membengkak sebesar Rp 33 triliun dari Rp 1.816,7 triliun dalam RAPBN menjadi Rp 1.849,8 triliun.
Meski estimasi pendapatan akan mengalami penurunan dari perkiraan awal, Chatib berjanji mendongkrak penerimaan negara dengan menyisir sumber-sumber pendapatan lainnya di sisi pajak.
"Penerimaan pajak tergantung komoditas tambang yang berbasis ekspor, selain itu kami sedang melihat potensi penerimaan dari property dan keuangan," kata Chatib, Senin (16/9) di gedung DPR, Jakarta.
Upaya mengurangi defisit
Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Bambang Brodjonegoro memaparkan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi defisit adalah dengan mengeluarkan aturan batas maksimal kumulasi defisit APBD lebih rendah menjadi maksimal 0,3% dari sebelumnya sebesar 0,5%.
Dengan aturan ini, maka defisit pemerintah pusat akan turun karena defisit di daerahnya juga harus lebih rendah.
Nah, dengan melakukan upaya lebih alias extra effort itu pemerintah yakin defisit bisa saja lebih rendah dari proyeksi tersebut menjadi 1,7%-1,8% terhadap PDB. Untuk itu, Ia akan menjelaskan semua upaya yang dilakukan itu dalam Rapat panitia Kerja RAPBN 2014 nanti, yang dibentuk oleh Badan Anggaran DPR-RI.
Adapun yang membuat belanja negara membengkak antara lain disebabkan oleh naiknya jumlah subsidi energi menjadi Rp 328,7 triliun dari asumsi awal sebesar Rp 194,9 triliun. Membengkaknya subsidi energi ini disebabkan karena merosotnya nilai tukar rupiah, sehingga mendongkrak harga BBM bersubsidi yang di impor.
Bukan hanya subsidi yang membengkak, akibat depresiasi rupiah juga menyebabkan anggaran pembayaran bunga utang naik sebesar Rp 1,2 triliun. Sementara itu, untuk anggaran pendidikan diperkirakan malah turun sebesar 1,2 triliun.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Lana Soelistyaningsih menilai membengkaknya angka defisit ini juga sebagai dampak dari perubahan asumsi makro. Misalnya saja, perubahan asumsi nilai tukar rupiah membuat proyeksi penerimaan negara berubah. "Ini membuat subsidi dan pembayaran bunga utang meningkat," ujar Lana.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News