kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.917   13,00   0,08%
  • IDX 7.197   56,12   0,79%
  • KOMPAS100 1.107   11,64   1,06%
  • LQ45 878   11,94   1,38%
  • ISSI 221   0,95   0,43%
  • IDX30 449   6,34   1,43%
  • IDXHIDIV20 540   5,67   1,06%
  • IDX80 127   1,46   1,16%
  • IDXV30 134   0,44   0,32%
  • IDXQ30 149   1,61   1,09%

Daya Beli Sulit, Masyarakat Makin Menjerit Dihantam Kenaikan Tarif PPN 12%


Kamis, 21 November 2024 / 21:51 WIB
Daya Beli Sulit, Masyarakat Makin Menjerit Dihantam Kenaikan Tarif PPN 12%
ILUSTRASI. Pajak.


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025 menuai beragam reaksi di masyarakat, khususnya di jagat maya. Banyak pihak khawatir kebijakan ini akan berdampak pada daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Dwi Hastuti memastikan, kebijakan tarif PPN tersebut tidak akan berdampak kepada masyarakat luas.

Baca Juga: Rakyat Makin Susah! YLKI Tolak Kenaikan Tarif PPN 12% di 2025

Sebab, tidak semua barang dan jasa dikenai tarif PPN. Misalnya barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat luas  seperti barang kebutuhan pokok berupa beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan dan sayur-sayuran.

Di samping itu,  jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa transportasi umum, dan jasa ketenagakerjaan, dibebaskan dari pengenaan PPN.

“Artinya kebutuhan rakyat banyak tidak terpengaruh oleh kebijakan ini,” kata Dwi kepada Kontan, Kamis (21/11).

Dwi membeberkan bahwa pendapatan dari PPN yang diperoleh pemerintah tersebut akan dikembalikan kepada masyarakat dalam berbagai bentuk.

Di antaranya, Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Program Indonesia Pintar (PIP) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, subsidi listrik, subsidi LPG 3 kg, subsidi BBM, dan subsidi pupuk.

Baca Juga: Ribuan Orang Teken Petisi Penolakan Kenaikan Tarif PPN Jadi 12%

Permasalahannya, Wakil Kepala LPEM FEB UI Bidang Penelitian Jahen F. Rezki menyampaikan, hasil analisanya menunjukkan kenaikan tarif PPN justru menghantam daya beli masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah.

Jahen membandingkan antara tahun 2022-2023 dengan 2020-2021, kenaikan PPN dari 10% jadi 11%, menambah beban rumah tangga miskin 20% terbawah dengan beban kenaikan sebesar 0,71%.

Sementara itu, dampak kenaikan tarif PPN menjadi 11% tersebut kepada 20% rumah tangga kaya, hanya menambah beban kenaikan sebesar 0,55%.

“Kelompok miskin dengan adanya kenaikan PPN akan berdampak sebesar 4,79% dari pengeluaran mereka,” tutur Jahen kepada Kontan, Senin (18/11).

Artinya bila konsumsi masyarakat kelas menengah ke bawah menurun, maka tingkat kemiskinan akan ikut meningkat.

Permasalahan lain yang muncul adalah ajakan boikot terhadap pemerintah di sosial media X, salah satunya mengajak untuk mengerem konsumsi barang-barang yang notabennya dikenakan tarif PPN seperti smartphone, hingga kendaraan pribadi, jika kebijakan tersebut tetap diberlakukan.

Baca Juga: Pemerintah Diminta Tunda Kenaikan Tarif PPN Menjadi 12% Hingga 2028

Padahal konsumsi amat dibutuhkan sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi nasional yang saat ini masih stagnan di level 5%. Selama ini konsumsi masyarakat juga menopang lebih dari 50% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Meski barang kebutuhan pokok hingga pelayanan umum yang banyak dibutuhkan masyarakat luas tidak dikenakan tarif PPN, konsumsi masyarakat terhadap kebutuhan barang lainnya tetap dibutuhkan untuk mendongkrak daya beli. 

Di samping itu, pendapatan pemerintah juga bisa turun dari PPN bila daya beli semakin melemah.

Sebelumnya, Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto mencatat, sudah empat kuartal berturut-turut konsumsi rumah tangga tumbuh lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi sejak kuartal IV 2023.

Pada kuartal IV 2023, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,04%, sedangkan pertumbuhan konsumsi hanya 4,47%. Kemudian pada kuartal I 2024 pertumbuhan ekonomi mencapai 5,11%, namun konsumsi hanya 4,91%.

Baca Juga: INDEF Dorong Pemerintah Perpanjang Skema PPh Final UMKM 0,5%

Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2024 mencapai 5,05%, sementara pertumbuhan konsumsinya hanya 4,93%. Lalu pada kuartal III 2024, pertumbuhan ekonomi mencapai 4,95%, sedangkan pertumbuhan konsumsi hanya 4,91%.

Melihat kondisi  tersebut, eko mengungkapkan bahwa saat ini konsumsi masyarakat sangat membutuhkan stimulus dari pemerintah, dan bukan dikenakan aneka kenaikan pungutan, seperti PPN naik menjadi 12% ataupun wacana penarikan iuran tabungan perumahan rakyat (Tapera) yang bakal berlaku mulai 2027.

“Sudah empat kuartal pertumbuhan konsumsi lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi. kalau sinyal ini tidak menjadi alarm bagi pengambil kebijakan. Saya ragu, kepada pembuat kebijakan. Bahwa yang dibutuhkan ekonomi hari ini adalah stimulus,” tutur Eko dalam diskusi publik INDEF, Senin (18/11).

Memang Ia mengakui bahwa untuk memberikan stimulus kepada masyarakat dibutuhkan anggaran yang tidak sedikit.

Baca Juga: Pengusaha Elektronik Sebut Kenaikan PPN 12% Akan Turunkan Permintaan Pasar Elektronik

Namun, apabila pemerintah kesulitan untuk mencari anggaran stimulus tambahan tersebut, setidaknya pemerintah tidak menambah beban kepada masyarakat dengan menaikkan berbagai pungutan.

Misalnya saja terkait kebijakan tarif PPN menjadi 12% yang mulai berlaku pada tahun depan. Meski nantinya pemerintah akan memberikan stimulus untuk meredam kenaikan tarif tersebut, Eko justru meragukan stimulus tersebut tidak akan berdampak apa pun untuk menolong daya beli masyarakat yang sedang turun.

“Namun ini menjadi pilihan bagi pemerintah apakah akan memberikan stimulan bagi ruang pertumbuhan konsumsi, atau justru memang pugut saja. Karena ada kebutuhan jangka pendek yaitu anggaran yang harus mencapai target,” tambahnya.

Selanjutnya: US Weekly Jobless Claims Hit Seven-Month Low

Menarik Dibaca: Sistem Face Recognition di Stasiun Kereta Telah Digunakan 5,85 Juta Kali Selama 2024

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×