kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,73   11,38   1.24%
  • EMAS1.310.000 -1,13%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Daya Beli Kelas Menengah Tertekan, Perlu Dukungan dari Pemerintah


Senin, 12 Februari 2024 / 17:11 WIB
Daya Beli Kelas Menengah Tertekan, Perlu Dukungan dari Pemerintah
ILUSTRASI. Penjualan makanan dan minuman kemasan pada gerai ritel di Tangerang Selatan, Rabu (10/1/2024). Daya Beli Kelas Menengah Tertekan, Perlu Dukungan dari Pemerintah


Reporter: Bidara Pink | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebagai salah satu penyumbang terbesar belanja konsumsi, masyarakat berpendapatan menengah layak mendapatkan perhatian lebih. 

Direktur Center of Eco­nomic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan, sejumlah hal cukup menekan belanja masyarakat kelas menengah. 

“Tahun ini, kelas menengah makin menunjukkan laju perlambatan konsumsi. Jangan sampai shrinking middle class (penyusutan jumlah masyarakat kelas menengah) terjadi,” ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Senin (12/2). 

Bhima pun memerinci beberapa hal yang menekan laju konsumsi kelas menengah. 

Baca Juga: Konsumsi Rumah Tangga dan PMTB Menjadi Sumber Pertumbuhan Ekonomi Kuartal IV 2023

Pertama, kenaikan harga beras dan pembatasan stok beras. Sebagai makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia, hal ini akan membuat kelas menengah akan mengeluarkan uang belanja kebutuhan pokok lebih banyak. 

Kedua, pendapatan pekerja di sektor berbasis komoditas yang cenderung melambat, akibat pergerakan harga komoditas. 

Ini akan memengaruhi masyarakat pekerja yang merupakan kelas menengah, terutama di daerah penghasil komoditas di luar Pulau Jawa. 

Ketiga, penurunan suku bunga yang belum jelas waktunya. Era suku bunga tinggi akan memengaruhi kemampuan membayar pinjaman, baik itu untuk konsumsi maupun pinjaman modal kerja. 

Baca Juga: Sejumlah Platform Dompet Digital Catatkan Kinerja Positif Sepanjang 2023

Bhima juga menawarkan beberapa langkah mitigasi yang bisa diambil oleh pemerintah. 

Pertama, relaksasi kebijakan pajak konsumsi. Seperti, menunda kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12%. 

Bahkan, ia menyarankan pemerintah untuk menurunkan PPN menjadi 9%, agar tak terlalu membebani belanja masyarakat. 

Kedua, pemerintah perlu mendorong serapan tenaga kerja di sektor non komoditas, seperti membuka kawasan industri baru hingga mendorong infrastruktur yang bersifat padat karya. 

Baca Juga: Menakar Urgensi Penerapan Cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan

Ketiga, Bank Indonesia (BI) pelru melakukan langkah pre-emptive untuk menurunkan suku bunga pada kuartal II-2024. Dengan total penurunan hingga akhir tahun 2024 di kisaran 50 bps hingga 75 bps. 

“Ekspektasi penurunan bunga acuan bisa membantu meringankan cicilan pinjaman kelas menengah,” tandasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×