kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Daripada Larang Ekspor CPO, Ekonom Sarankan Pemerintah Lakukan Hal Ini


Senin, 02 Mei 2022 / 20:10 WIB
Daripada Larang Ekspor CPO, Ekonom Sarankan Pemerintah Lakukan Hal Ini
ILUSTRASI. Pekerja memanen kelapa sawit di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (17/07). Daripada larang ekspor CPO dan turunannya, ekonom sarankan pemerintah lakukan hal ini.


Reporter: Bidara Pink | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Kebijakan larangan ekspor CPO bersama produk turunannya sudah berlaku per 28 April 2022. Meski ini bertujuan untuk menjaga pasokan minyak goreng dalam negeri dan juga menjaga harganya, Ekonom MNC Sekuritas Tirta Widi Gilang Citradi dengan tegas menyebut, larangan pemerintah ini merupakan kebijakan yang kontraproduktif. 

Pasalnya, larangan kebijakan ini bisa berpotensi menyebabkan penurunan nilai dan volume ekspor yang tidak perlu. 

Ia pun memperkirakan, nilai potensi kerugian nilai ekspor bulanan adalah sekitar US$ 1,8 miliar hingga US$ 2,2 miliar, karena kebijakan ini. “Mengingat, CPO dan produk turunannya (HS 1511) menyumbang lebih dari 80% ekspor lemak dan minyak hewan nabati,” ujar Tirta kepada Kontan.co.id, Jumat (29/4). 

Adapun, CPO dan produk turunannya menyumbang sekitar 11,52% dari total ekspor Indonesia tahun 2021.

Baca Juga: Tekan Impor, Jokowi Minta Belanja Pemerintah Diarahkan untuk Pembelian Produk Lokal

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun lalu, Indonesia mengekspor sekitar 25,5 juta ton CPO dan turunannya dengan nilai US$ 26,67 miliar atau rata-rata 2,13 juta ton senilai US$ 2,22 miliar per bulan. 

Nah, daripada pemerintah melarang ekspor CPO dan turunannya, Tirta pun menyarankan solusi alternatif yang mungkin bisa dilakukan oleh pemerintah, yaitu dengan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. 

Menurut Tirta, pemerintah bisa merogoh kocek sebesar Rp 1,06 triliun per bulan untuk BLT tersebut dan bisa ditambahkan ke program perlindungan sosial. Dalam hal ini, Tirta menilai pemerintah masih memiliki ruang fiskal yang memadai untuk memperluas penerima manfaat. 

Hitungan Tirta berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut rata-rata konsumsi minyak goreng per kapita per bulan untuk satu orang di Indonesia sebesar 1,2 liter. Dengan asumsi satu keluarga terdiri dari 3 hingga 4 orang, maka konsumsi bulanan minyak goreng satu keluarga setara dengan 4,8 liter. 

Baca Juga: Pertumbuhan Ekspor Korea Selatan di April Melambat, Defisit Perdagangan Melebar

Bila kemudian BLT ini digelontorkan pada 20 jta keluarga penerima manfaat dan biaya ekonomi yang ditanggung oleh pemerintah adalah sebesar Rp 11.000 per liter, maka subsidi bulanan yang harus dikeluarkan pemerintah adalah sebesar Rp 1,06 triliun. 

Kemudian, dengan melihat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 masih mencetak surplus sekitar Rp 10,3 triliun per kuartal I-2022, maka masih ada ruang fiskal untuk memberi subsidi bahkan hingga 6 bulan ke depan. 

“Sehingga, daripada menerapkan payung harga yang dapat menghambat produksi atau melarang ekspor yang menyebabkan turunnya surplus perdagangan, salah satu solusi untuk menjaga harga minyak goreng untuk terjangkau bagi konsumen berpenghasilan menengah ke bawah adalah dengan memberikan transfer tunai,” tandasnya. 

Baca Juga: Menilik Pro Kontra Larangan Ekspor CPO dan Minyak Goreng

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×