kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Dampak kalau defisit diperlebar versi Menkeu


Selasa, 11 Juli 2017 / 19:37 WIB
Dampak kalau defisit diperlebar versi Menkeu


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Menteri Keuangan Sri Mulyani memandang bahwa batas maksimal defisit anggaran sebesar 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sudah seimbang sehingga tidak perlu dilonggarkan.

Sebelumnya, hal ini disinggung dalam rapat antara pemerintah, Bank Indonesia (BI), dan Komisi XI DPR RI soal RAPBN-P 2017. Batas maksimal 3% dalam UU dianggap telah membelenggu pemerintah untuk mengakselerasi ekonomi.

“Kalau (defisit anggaran) dinaikkan dengan cepat, tapi tidak terdapat perencanaan yang matang, yang terjadi adalah APBN besar tapi penyerapannya tidak tinggi,” katanya di Gedung DPR, Selasa (11/7).

Menurut Sri Mulyani, bila melihat kinerja APBN pada 2014-2016 lalu, ada belanja-belanja yang belum terserap. Oleh karena itu, ia bilang, sebetulnya perlu ditekankan bagaimana perancangan belanja yang baik sehingga eksekusinya bisa berjalan sesuai dengan kapasitas membelanjakannya.

Bila defisit besar tetapi belanja tidak tereksekusi, menurut Sri Mulyani hal ini akan menyebabkan dua beban. Pertama, biaya utang meningkat. Kedua, Kementerian/Lembaga (K/L) termasuk pemda tidak melakukan tugasnya untuk penganggaran yang baik.

Ia memberi contohnya belanja di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang dipangkas sebesar Rp 363,6 miliar menjadi Rp 40,74 triliun dalam RAPBN-P 2017. Menurutnya, beberapa tahun terakhir ini, di Kemenkeu ada belanja yang tiba-tiba melonjak dan tidak bisa dieksekusi.

“Seperti tahun 2015, ada Rp 2,5 triliun yang tidak terbelanjakan. Itu artinya pemerintah secara umum harus menyediakan uang Rp 2,5 triliun, namun kemudian uang itu tidak terserap,” kata dia. Inilah yang akhirnya menyebabkan terjadinya Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA).

“Untuk membiayai Rp 2,5 triliun itu kita terlanjur meng-issue utang. Itu yang sebabkan anggaran besar dan tak terserap. Itu memberi beban bagi ekonomi dan kredibilitas APBN,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×