kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.180   20,00   0,12%
  • IDX 7.096   112,58   1,61%
  • KOMPAS100 1.062   21,87   2,10%
  • LQ45 836   18,74   2,29%
  • ISSI 214   2,12   1,00%
  • IDX30 427   10,60   2,55%
  • IDXHIDIV20 514   11,54   2,30%
  • IDX80 121   2,56   2,16%
  • IDXV30 125   1,25   1,01%
  • IDXQ30 142   3,33   2,39%

Dalam Penerapan UU Tipikor, Jangan Sampai Melukai Keadilan


Kamis, 14 November 2024 / 18:24 WIB
Dalam Penerapan UU Tipikor, Jangan Sampai Melukai Keadilan
ILUSTRASI. Gedung KPK, Jakarta Selatan, Selasa (18/5/2021).


Reporter: Ahmad Febrian | Editor: Ahmad Febrian

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemberantasan korupsi menjadi fokus banyak negara, termasuk Indonesia. Wakil Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Otto Hasibuan mengatakan, Pasal 2 dan Pasal 3 dalam Undang-Undang (UU) No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jangan sampai melukai keadilan tertinggi. 

"Harapan kita bagaimana penegak hukum dapat melaksanakan ini dengan hati-hati dengan adil. Jangan sampai melukai keadilan yang tertinggi. Ini yang saya kira penting yang harus kita garis bawahi atau laksanakan," kata Otto dalam sebuah seminar, Kamis (14/11).

Otto menuturkan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor memang kerap mengundang perdebatan. Dalam pasal 2 menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup. Atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. 

Dia menyebut frasa perbuatan melawan hukum dalam pasal 2 tersebut oleh sebagian orang diminta agar dapat dirumuskan kembali supaya dapat memenuhi unsur pidana. Pasal 2 tersebut dinilai terlalu lentur karena tidak mendapatkan actus reus tentang unsur perbuatan melawan hukumnya

Kendati begitu, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyebutkan, frasa tersebut tidak lentur karena unsur perbuatan melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri, orang lain, dan merugikan negara sudah termaktub di dalam pasal tersebut. :Business Judgment Rules harus dipertimbangkan tapi jangan juga digunakan untuk menutupi perbuatan pidana itu., selalu ada dua sisi," ungkapnya.

Baca Juga: Kepastian Hukum Turut Pengaruhi Pertumbuhan

Untuk itu, Otto mengatakan pelaksanaan UU ini harus dilakukan dengan hati-hati dan adil. Sebab, jika ditegakkan dengan benar dapat menjerat koruptor. "Kalau dilaksanakan dengan hati-hati dan adil itu sebenarnya benar demikian kita bisa menjerat pelaku korupsi kalau dia betul-betul melakukan" ujar dia.

Sementara itu, jika menarik ke belakang, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2007-2011 Chandra Hamzah mengatakan frasa tiap perbuatan dalam pasal 2 ayat 1 Tahun 1957 yang merupakan asal usul Pasal 2 UU Tipikor 1999 tidak memenuhi actus reus. Semula, pasal-pasal ini diperuntukkan bagi pihak swasta. "Secara historical dan kontekstual, asal muasal pasal 2 dan pasal 3(1) UU Tipikor ditujukan antara lain untuk mengantisipasi perbuatan curang terkait dengan nasionalisasi perusahaan asing di tahun 1950-an," terang Chandra, dalam kesempatan yang sama.

Chandra mengatakan setiap negara harus memiliki istilah yang sama dalam memutuskan perkara memenuhi tindak pidana korupsi atau tidak. Negara-negara lain di dunia menyepakatinya dengan istilah suap bukan kerugian negara.

Untuk itulah, dalam konferensi negara-negara PBB dalam pemberantasan korupsi diusulkan untuk menghapus pasal 2(1) UU Tipikor. Kemudian mengganti rumusan Pasal 3 UU Tipikor dengan rumusan baru berdasarkan norma yang termuat dalam Article 19 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), yaitu: menghilangkan frasa: “yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dan mengganti kata “Setiap Orang” dengan kata “Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara.”

Senada dengan Chandrah, Wakil Ketua KPK 2003-2007 Amien Sunaryadi mengatakan, penegak hukum, termasuk KPK, belum banyak fokus kepada pidana suap. Menurutnya, bribery atau suap merupakan indikator yang sangat penting dalam tindak pidana korupsi. “Kalau bribery tidak diberantas ya indeks korupsi kita akan jelek terus. Kemudian negara-negara maju atau individu yang kena denda besar di Amerika Serikat kasusnya adalah suap,” tutur Amien.

Jadi, kata Amien, suap itu ada di mana-mana. Bahkan dimulai dari perizinan, pengadaan bahkan di penegak hukum. Maka dari itu, pemberantasan korupsi harus berangkat dari fakta lalu baru bisa menyiapkan strateginya.

“Strateginya dibagi dua saja. Bagaimana supaya Indonesia tidak mengulangi kegagalan korupsi di orde baru dan 25 tahun reformasi. Menurut saya tegas saja pasal 2 dan 3 dicabut dengan cara judicial review,” ujarnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×