Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Tekanan terhadap mata uang rupiah masih belum kendur dalm waktu dekat.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, ketatnya likuiditas dolar Amerika Serikat (AS) masih menjadi tekanan utama terhadap pasar keuangan Indonesia dan nilai tukar rupiah dalam jangka pendek.
Namun, menurut Josua, pergerakan rupiah dalam jangka menengah-panjang akan sangat bergantung pada arah kebijakan struktural AS ke depan. Hal itu terutama terkait dengan agenda industrialisasi domestik serta kemungkinan pelepasan dari strategi strong dollar policy.
Pada April 2025, pasar keuangan Indonesia mengalami tekanan nyata seiring dengan pengetatan likuiditas dolar AS. Hal ini tercermin dari cadangan devisa yang menurun signifikan sebesar US$ 4,6 miliar menjadi US$ 152,5 miliar. Penurunan tersebut disebabkan intervensi Bank Indonesia (BI) di pasar valuta asing dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
Baca Juga: Volatilitas Rupiah Tinggi Seiring Penurunan Cadev dan Ketidakpastian Perang Dagang
Di saat yang sama, terjadi arus keluar portofolio bersih sebesar US$ 2,27 miliar, terutama dari pasar saham dan instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
“Ini menegaskan bahwa ketatnya likuiditas dolar AS tetap menciptakan tekanan pada rupiah, baik melalui jalur capital outflow maupun cadangan devisa,” tutur Josua kepada Kontan, Kamis (8/5).
Josua menambahkan, apabila AS serius menjalankan kebijakan reindustrialisasi yang ditandai agenda reshoring manufaktur dan tarif proteksionis dari Presiden Trump, maka negara tersebut akan menghadapi kontradiksi strategis antara mempertahankan dolar kuat dan mendorong daya saing industri dalam negeri.
Menurutnya, dalam situasi seperti ini, kebijakan dolar kuat yang sebelumnya berguna untuk menjaga daya beli konsumen dan menarik arus modal global bisa saja ditinggalkan, karena berpotensi menjadi kontraproduktif bagi ekspor dan sektor manufaktur domestik.
Dari sisi pasar, Josua menyebut tren tersebut mulai terlihat. Ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed sebesar 75 hingga 100 basis poin di tahun 2025 menandakan bahwa pelonggaran moneter bisa menjadi jalan kompromi bagi AS di tengah tekanan inflasi akibat tarif dan pelemahan pertumbuhan ekonomi.
“Bila AS secara bertahap melepas komitmennya terhadap dolar kuat, kekuatan dolar bisa mulai terdepresiasi secara struktural. Dalam skenario ini, tekanan terhadap rupiah juga akan lebih terbatas dibandingkan periode taper tantrum atau saat Fed tightening agresif,” ungkapnya.
Josua juga mengingatkan, transisi menuju lingkungan dolar yang lebih lemah tidak serta-merta menghapus risiko jangka pendek bagi negara-negara berkembang.
“Selama ketidakpastian global tinggi baik dari kebijakan tarif AS, perlambatan ekonomi China, maupun tensi geopolitik arus modal akan tetap volatil, dan Indonesia tetap perlu menjaga kredibilitas kebijakan makro serta memperkuat instrumen moneter pro-pasar seperti SRBI dan SVBI sebagai peredam volatilitas,” katanya.
Baca Juga: Rupiah Diperkirakan Bergerak Volatile Sepanjang Semester I 2025
Dengan demikian, lanjutnya likuiditas dolar AS yang ketat akan berpotensi menekan pasar keuangan dan rupiah masih relevan sebagai sinyal jangka pendek, namun harus dikontekstualisasikan ulang dalam dinamika global baru.
Ia menambahkan, dalam jangka menengah-panjang, kekuatan dolar tidak lagi bersifat absolut. Peluang stabilisasi rupiah ke depan akan semakin ditentukan oleh resiliensi makro domestik, kredibilitas Bank Indonesia, serta respons strategis terhadap pergeseran arus modal global.
Selanjutnya: Banyak Kendaraan Langgar Perda Pencemaran Udara, Pemprov DKI Perketat Uji Emisi
Menarik Dibaca: Banyak Kendaraan Langgar Perda Pencemaran Udara, Pemprov DKI Perketat Uji Emisi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News