Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Setelah menaikkan tarif cukai hasil tembakau per 1 Januari 2016, pemerintah kembali berencana untuk menyesuaikan atau menaikkan kembali tarif cukai hasil tembakau di tahun 2017.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, tarif cukai hasil tembakau akan kembali dinaikkan pada tahun depan. Kenaikan tarif cukai ini, kata Bambang sesuai dengan roadmap, yaitu untuk mengurangi konsumsi masyarakat terhadap rokok. "Pasti (ada kenaikan tarif cukai tahun depan)," kata Bambang, akhir pekan lalu.
Tahun 2015 lalu, pemerintah telah menaikkan tarif hasil tembakau. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 198/PMK.10/2015 Tarif Cukai Hasil Tembakau, ditetapkan rata-rata kenaikan tarif tersebut yaitu sebesar 11,9%.
Pemerintah juga masih memiliki ruang untuk kembali menaikkan tarif hasil tembakau. Sebab, dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai menyatakan bahwa tarif cukai hasil tembakau paling tinggi adalah 57% dari harga jual eceran atau 275% dari harga jual pabrik.
Sayang, Bambang masih enggan menyebutkan rencana besaran kenaikan tarif cukai yang baru itu.
Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemkeu) Goro Ekanto juga bilang, BKF tengah menghitung besaran kenaikan tarif cukai menurut layer-nya. Ia mengakui, kenaikan tarif cukai pasti akan memberatkan para pengusaha rokok.
Kebijakan tarif cukai memang menjadi salah satu langkah untuk mencapai sasaran roadmap industri hasil tembakau (IHT). Sementara itu, roadmap Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Bappenas tahun 2007 hingga 2020, tujuan pengembangan IHT adalah meningkatkan penyerapan tenaga kerja, meningkatkan peneriman negara melalui cukai dan pajak, dan menumbuhkan industri terkait dengan tetap memperhatikan aspek kesehatan masyarakat.
Adapun prioritas jangka menengah tahun 2010 hingga 2015, yaitu pada aspek penerimaan, kesehatan, dan tenaga kerja. Sementara itu, untuk jangka panjang tahun 2015 hingga 2020 aspek kesehatan menjadi prioritas dibandingkan dengan aspek penerimaan dan tenaga kerja.
Dalam roadmap IHT juga disebutkan salah satu sasaran yang ingin dicapai, ialah pembatasan produksi rokok pada tahun 2020. Pada saat itu pemerintah menilai, maksimal produksi rokoknya hanya sebanyak 260 miliar batang.
Perluas basis cukai
Nah, agar tidak terlalu memberatkan pengusaha, pemerintah akan memperluas basis pengenaan cukai. Saat ini pemerintah masih mengkaji objek cukai baru, yakni kemasan plastik.
Pemerintah sebelumnya memastikan pembahasan rencana ini akan dilakukan sebelum pengajuan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016. Menurut Goro, BKF akan mengirimkan surat permohonan konsultasi untuk membahas rencana tersebut ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat, ruang kenaikan tarif cukai hasil tembakau sebenarnya tidak terlalu lebar. Tarif cukai hasil tembakau golongan sigaret kretek mesin (SKM) saat ini hampir mendekati batas maksimal, yaitu rata-rata 42%. "Kalau terjadi kenaikan cukai untuk golongan tersebut nanti malah kontra produktif," kata dia.
Menurut Prastowo, yang masih jauh dari batas maksimal tarif cukai adalah hasil tembakau golongan sigaret kretek tangan (SKT). Selama ini SKT tidak berkontribusi signifikan pada penerimaan.
Oleh karena itu menurut Prastowo, salah satu pilihannya adalah mengubah Undang-Undang (UU) nomor 39 tahun 2007 tentang Perubahan UU nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai untuk menaikkan batas maksimal tarif cukai hasil tembakau. Namun tentu saja, revisi beleid tersebut akan membutuhkan waktu yang lebih lama.
Karenanya, untuk memaksimalkan penerimaan cukai dari hasil tembakau, Prastowo mengusulkan agar Menteri Keuangan melakukan penyederhanaan golongan-golongan hasil tembakau menjadi dua golongan saja, yaitu SKM dan sigaret putih mesin (SPM). Di dalam SPM, bisa dimasukan golongan SKT, tetapi tetap dilindungi pemerintah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News