Reporter: Grace Olivia | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sepanjang 2018, aktivitas manufaktur Indonesia masih tergolong ekspansif. Hal ini terlihat dari Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang masih berada di atas level 50.
PMI Manufaktur Indonesia pada Desember, misalnya, mencapai 51,2, naik dari capaian bulan sebelumnya sebesar 50,4. Namun, kenaikan indeks juga masih tergolong moderat lantaran adanya sejumlah tantangan domestik maupun eksternal.
Tantangan tersebut, menurut Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Muhammad Faisal, masih akan berlanjut di 2019. "Indeks PMI mungkin masih akan berada di atas level 50--level yang ekspansif, tapi juga belum bisa naik signifikan," pungkasnya, Kamis (3/1).
Alasannya, pertama, Faisal menilai risiko fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) di sepanjang tahun ini masih terbuka lebar. Hal ini akan menekan kinerja sektor manufaktur dari segi meningkatnya biaya produksi, terutama dalam memperoleh bahan baku.
"Masih ada juga potensi harga minyak mentah dunia naik lagi, meskipun proyeksi kami harga minyak tidak akan naik sampai ke atas US$ 80 per barelnya," ujar Faisal.
Ia juga menilai, aktivitas manufaktur Indonesia masih amat bergantung pada permintaan (order) dari dalam negeri, sedangkan permintaan luar negeri alias ekspor masih loyo.
Tahun ini, Faisal tak begitu yakin kondisi ekspor bakal membaik lantaran permintaan secara global diprediksi melambat.
IMF misalnya, memproyeksi dalam World Economic Outlook bahwa volume perdagangan dunia akan melambat dari 5,2% menjadi 4,2% di 2019. Sementara, tahun 2020 laju pertumbuhan volume perdagangan akan kian melambat ke level 4,0%.
"Belum lagi persaingan dengan negara produsen barang manufaktur lain seperti Vietnam, Thailand, dan China di mana daya saing kita masih di bawah negara-negara tersebut," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News