Reporter: Grace Olivia | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan dalam prognosisnya memproyeksi defisit APBN 2019 akan mencapai Rp 310,8 triliun atau 1,93% dari produk domestik bruto (PDB).
Perkiraan tersebut lebih besar dari target defisit yang ditetapkan sebelumnya yaitu Rp 296 triliun atau 1,84% dari PDB.
Baca Juga: Penerimaan negara diprediksi menciut akibat pertumbuhan ekonomi lesu
Hal ini sejalan dengan perkiraan realisasi pendapatan negara sampai dengan akhir tahun yang diproyeksikan sebesar Rp 2.030,8 triliun atau hanya 93,8% dari targetnya dalam APBN.
Penerimaan perpajakan tahun ini diproyeksi (outlook) hanya sebesar Rp 1.643,1 triliun. Artinya, ada shortfall sebesar Rp 143 triliun dari target yang ditetapkan dalam Undang-Undang APBN 2019 yaitu Rp 1.786,4 triliun.
Center of Reform on Economics (Core) Indonesia memprediksi, defisit APBN 2019 berpotensi lebih lebar lagi dari prognosis pemerintah, yaitu 2% - 2,1% dari PDB.
Baca Juga: Pemerintah tambah utang sebesar US$ 2 miliar, setara Rp 28 triliun hingga Juli
Ekonom Core Yusuf Rendy Manilet menjelaskan, ada beberapa alasan di balik prediksi tersebut. Di antaranya, penerimaan pajak diprediksi akan mengalami shortfall yang lebih besar dari outlook pemerintah
“Dua alasan penerimaan pajak akan lebih rendah, yaitu pertumbuhan sektor manufaktur yang makin melambat dan beberapa asumsi makro yang realisasinya lebih rendah seperti harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah,” ujar Rendy, Kamis (8/8).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan PDB dari sektor manufaktur hanya 3,54% atau lebih rendah dari kuartal pertama yang sebesar 3,86%.
Baca Juga: Jejak Cosmas Batubara dalam kebijakan pembangunan rumah rakyat
Yusuf menjelaskan, pertumbuhan sektor manufaktur yang lambat berimplikasi pada penerimaan pajak di sektor tersebut. Padahal, penerimaan pajak sektor manufaktur mengambil porsi terbesar yaitu hampir 30% dari keseluruhan.
Tambah lagi, realisasi nilai tukar rupiah dan harga minyak mentah sampai saat ini masih di bawah asumsi APBN yakni masing-masing Rp 15.000 per dollar AS dan US$ 70 per barel. Hal ini menyebabkan penerimaan pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor migas menurun.
Terbukti, penerimaan PPh migas semester I-2019 hanya tumbuh 0,31% secara tahunan (yoy) atau sebesar Rp 30,16 triliun. Begitu juga PNBP sumber daya alam (SDA) yang per akhir Juni tumbuh negatif 5,8% atau hanya mencapai Rp 70,73 triliun.
Baca Juga: Masih melihat situasi, Kemenkeu belum pastikan strategi front loading untuk APBN 2020
“Karakteristik APBN kita, realisasi yang lebih tinggi dari asumsi itu berdampak menambah penerimaan. Tapi kondisi sekarang berkebalikan,” lanjut Rendy.
Dalam proyeksinya, Core Indonesia menghitung defisit anggaran bisa mencapai Rp 317 triliun sampai dengan Rp 342 triliun. Ini setara dengan 2% - 2,1% dari PDB.
Penerimaan negara diprediksi hanya mencapai Rp 1.960 triliun - Rp 1.970 triliun. Sementara, belanja negara diperkirakan sebesar Rp 2.228 triliun - Rp 2.313 triliun.
Baca Juga: Penasaran dengan skema tukar guling aset Jakarta untuk ibukota baru?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News