kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45912,11   2,80   0.31%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Chatib Basri wanti-wanti pola pemulihan ekonomi Indonesia bisa U-shaped


Selasa, 08 September 2020 / 12:06 WIB
Chatib Basri wanti-wanti pola pemulihan ekonomi Indonesia bisa U-shaped
ILUSTRASI. Menteri Keuangan M Chatib Basri memberikan keterangan mengenai evaluasi perkembangan perekonomian global dan domestik 2013, serta kinerja realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2013 di Jakarta, Senin (6/1). Kompas/Priyombodo (PRI) 06-0


Reporter: Bidara Pink | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setiap negara di dunia pasti ingin segera pulih dari dampak Covid-19. Namun, pola pemulihan masing-masing negara pasti berbeda-beda.

Menteri Keuangan periode 2013 - 2014 Chatib BasriĀ  pun meneropong kalau pola pemulihan ekonomi Indonesia dari Covid-19 berpotensi U-shaped.

Chatib Basri bilang, memang dari sejumlah data menunjukkan kalau pemulihan sudah mulai terjadi, seperti data dari Badan Pusat Statistik (BPS) maupun indikator seperti indeks manufaktur.

Tetapi, masih ada beberapa indikator yang menunjukkan kalau pemulihan masih flat bahkan cenderung menurun.

Baca Juga: Tips melawan resesi: Siapkan dana darurat hingga bangun bisnis sampingan

"Dari data BPS Juni kita melihat beberapa indikator setelah re-opening naik. Juli dan Agustus juga PMI Manufaktur kita naik. Tapi, indeks penjualan ritel masih flat. Pergerakan manusia dari google mobility juga flat dan bahkan declined," katanya, Selasa (8/9).

Chatib Basri pun memetakan penyebab pemulihan ekonomi Indonesia bisa U-shaped. Pertama, adanya fator eksternal terkait dengan perekonomian global yang masih belum membaik.

Ia mengambil contoh negara China yang meski mereka sudah mulai menunjukkan aktivitas perekonomian, tetapi belum pulih sepenuhnya. Padahal, seperti yang kita tahu, China merupakan negara tujuan ekspor terbesar Indonesia.

"China itu sekitar 40% dari ekspor kita, basic-nya batubara dan palm oil ke China. Jadi, kita sangat bergantung dengan permintaan yang datang dari China," tambahnya.

Kedua, masalah datang dari daya beli masyarakat dan konsumsi rumah tangga. Daya beli masyarakat masih rendah dan konsumsi rumah tangga pun juga masih tersendat.

Ia melihat, masalah ini juga muncul dari masih adanya kebijakan social distancing yang diterapkan di sejumlah daerah sehingga menghambat aktivitas.

Ia pun membandingkan kondisi Indonesia dengan negara Australia. Di Australia, pemerintah memiliki jaminan buat mereka yang tidak bekerja atau tinggal di rumah. Namun, di Indonesia tidak punya itu.

Baca Juga: Jangan cemas! 4 Hal ini bisa dilakukan agar keuangan Anda aman dari resesi

"Di Indonesia tidak punya. Jadi, orang yang bisa stay at home (tinggal di rumah) hanya orang yang memiliki savings. Orang yang kaya memiliki privilege untuk tidak bekerja, tetapi kalau yang miskin harus keluar rumah dan bekerja," katanya.

Ia pun memetakan pola konsumsi rumah tangga setelah perekonomian mulai dibuka. Orang dari low middle income (menengah ke bawah) setelah re-opening perekonomian mereka memang mulai bebas ke pasar dan mereka tetap melakukan konsumsi. Akan tetapi, konsumsinya masih terbatas karena daya belinya rendah.

Sementara masyarakat middle income (menengah) dan masyarakat upper income (atas) mereka lebih memilih untuk tinggal di rumah karena menghindari Covid-19 dan kalaupun mereka berbelanja ke mall atau barang tersier, juga masih terbatas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×