Reporter: Mochammad Fauzan | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kembali masuknya arus modal di pasar keuangan menjadi angin segar bagi pemerintah karena rupiah dan pasar keuangan akan mendapatkan dampak positif, menjadikan menguatnya secara signifikan nilai tukar mata uang Garuda terhadap mata uang dollar Amerika Serikat (AS). Meski begitu, pemerintah diminta jangan terlalu terlena akan menguatnya nilai mata uang tukar rupiah terhadap dollar AS pada saat ini. Sebab, kegembiraan akan menguatnya rupiah tersebut hanya berlangsung sementara.
Ekonom senior Chatib Basri menyatakan, arus modal yang masuk tersebut dimulai dari masuknya arus modal dari portofolio secara drastis akibat penurunan tingkat bunga The Fed. Suatu hari nanti akan kembali lagi ke luar karena sifatnya hot money. Seandainya The Fed menaikan kembali suku bunga dengan cepat dengan begitu situasi ekonomi seperti di tahun 2018 akan terulang. Jika melihat dalam jangka pendek dengan masuknya arus modal memang mendorong perekonomian, namun hal tersebut tak berkesinambungan.
“Ketika The Fed melakukan normalisasi kebijakan moneter dengan menaikan tingkat suku bunga, maka terjadi arus modal keluar dan padar keuangan akan terguncang, nilai tukar rupiah akan jatuh,” ujar Chatib dalam akun Twitternya Senin (7/1).
Melengkapi tweet saya kemarin soal nilai tukar, berikut tulisan saya di FB mengenai dampak Fed thd pemguatan nilai tukr dan pasar keuangan:This Time is (not) different. https://t.co/ny8ElRAglV— M. Chatib Basri (@ChatibBasri) 7 January 2019
Mantan Menteri Keuangan era pemerintahan Presiden SBY tersebut mengingatkan bahwa penguatan nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini tak terlepas dari pernyataan pimpinan bank The Fed, Jerome Powell yang memastikan The Fed akan lebih bersabar dan tidak agresif dalam menaikan suku bunganya.
Chatib menambahkan bahwa ekonomi masih sangat rentan dan ada risiko guncangan pada rupiah dan pasar keuangan dikarenakan suatu saat nanti The Fed harus menaikkan bunganya lagi.
Karenanya, ia mengingatkan Indonesia perli berhati-hati, lantaran arus modal yang masuk ini suatu hari akan berbalik meninggalkan Indonesia.
Nah, untuk mengantisipasi risiko ini, Chatib bilang ada beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah.
Pertama, pemerintah harus melakukan pendalaman pasar keuangan, agar pasar obligasi dan pasar modal tidak tergantung kepada pembiayaan eksternal. "Caranya dengan mendorong lebih banyak investor lokal. Berikan insentif atau buat aturan agar BUMN, dana pensiun, asuransi, dana haji dan retail untuk menempatkan investasinya dalam obligasi pemerintah," jelasnya.
Kedua, menurut Chatib pemerintah juga bisa menerapkan reverse tobin tax. Dalam reverse tobin tax, pemerintah memberikan insentif pajak jika investor melakukan reinvestasi keuntungannya dalam jangka panjang.
Selain itu, pemerintah perlu menciptakan instrumen atau produk pasar keuangan agar orang Indonesia memiliki opsi untuk menempatkan investasi portofolio dalam mata uang asingnya di Indonesia (on shore). Menurut Chatib, ketersediaan berbagai instrumen pasar keuangan ini akan meningkatkan pasokan dollar di dalam negeri. Selain itu, "Tentu yang utama kita harus memperbaiki iklim investasi," kata Chatib.
Dalam jangka panjang, Indonesia juga perlu menggerakkan ekspor manufaktur dan meragamkan produk dan tujuan ekspor.
Meski mengapresiasi upaya pemerintah dan Bank Indonesia untuk mengatasi gejolak keuangan di tahun 2018, namun Chatib mengingatkan bahwa pemerintah tidak bisa terus menerus menerapkan strategi bertahan. "Kita tidak ingin mengulangi kesalahan dengan menganggap bahwa arus modal yang masuk, rupiah yang menguat, pasar keuangan yang bergairah ini akan berbeda dengan fenomena yang sebelumnya: This time is (not) different," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News