Reporter: Bambang Rakhmanto | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Kenaikan harga pangan yang terus terjadi belakangan ini disebabkan oleh berkurangnya pasokan akibat cuaca buruk, benar-benar menjadi momok menakutkan dunia. Celakanya hal ini dikhawatirkan banyak orang masih akan terus berlanjut.
Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi mengatakan, Pemerintah Indonesia sudah saatnya memikirkan tentang penggunaan bibit transgenik atau Genetically Modified Organism (GMO) untuk mengatasi masalah ini. Produktivitas bibit transgenik yang bisa mencapai hingga 30-40 persen diatas bibit biasa, bisa menjadi solusi jangka menengah mengatasi penurunan produksi pangan. ”Masalah pangan serius, bukan hanya Indonesia saja tetapi seluruh dunia. Sekarang saya ingin bertanya kepada publik kenapa kita tidak memikirkan soal GMO saja,” katanya Rabu (9/2).
Hingga saat ini, penggunaan bibit transgenik masih menjadi perdebatan publik. Selain memiliki keunggulan, bibit transgenik juga mengandung banyak risiko terhadap kesehatan dan juga keanekaragaman hayati. “Dari dulu kita lihat transgenik itu sebagai suatu risiko, tapi ini kita betul-betul harus putuskan bersama. Apakah kita ingin membiarkan harganya naik seperti ini atau kita tingkatkan produktivitas kita. Ini solusi jangka menengah,” kata Bayu.
Pemerintah saat ini sedang dipusingkan oleh penurunan produksi kedelai dalam negeri yang diiringi oleh kenaikan harga kedelai dunia. Pasalnya, sejak tahun lalu banyak lahan kedelai dialih fungsikan
menjadi lahan padi. "Karena pada tahun lalu dan mungkin diperkirakan berlanjut di tahun ini, musim tanam ketiga itu diisi oleh padi, yang biasanya diisi oleh kedelai. Sekarang diisi oleh padi karena basah,
kedelai nggak bisa basah," katanya
Saat ini, produksi kedelai lokal hanya sekitar 900.000 ton per tahun, sementara kebutuhan kedelai sekitar 1,7 juta ton per tahun. Sehingga, sisanya harus dipenuhi lewat impor dari negara produsen kedelai di Amerika Selatan. “Sekarang China impor kedelai 55 juta ton sementara Indonesia impor kurang lebih 600 - 700 ribu. Meskipun Amerika Selatan bisa menyanggupinya, tapi permintaan kita bisa diabaikan karena China lebih besar,” kata Bayu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News