Reporter: Adhitya Himawan |
JAKARTA. Demokrasi yang berlangsung selama 15 tahun di Indonesia dinilai melahirkan politik transaksional dan korupsi. Tingginya biaya politik untuk mengikuti proses pemilu maupun pemilukada menjadi pemicunya.
Dosen Peneliti di Pusat Studi Sosial Politik UI Ubaidillah Badrun memaparkan, pemilukada antara tahun 2010-2014 telah menelan biaya Rp 15 triliun. Biaya total pemilu pada 2009 mencapai Rp 49,7 triliun.
Sementara itu, untuk mencalonkan diri menjadi anggota DPRD Kabupaten/Kota, akan membutuhkan Rp 150 juta-250 juta. Untuk menjadi Bupati/Walikota membutuhkan Rp 5 miliar-25 miliar. Untuk menjadi anggota DPRD Provinsi membutuhkan Rp 700 Juta. Sedangkan untuk menjadi Gubernur butuh Rp 50 miliar-100 Milyar. Sedangkan untuk menjadi anggota DPR RI butuh Rp 1,5 Milyar. Terakhir, untuk menjadi Presiden RI butuh Rp 1,5 Triliun.
"Kondisi inilah yang melahirkan situasi politik saat ini begitu kental dengan politik transaksional," ujar Ubaidillah dalam diskusi "15 Tahun Reformasi" yang berlangsung di Gedung DPD RI, Jumat, (17/5).
Ia menyebut reformasi 15 tahun gagal melahirkan demokrasi yang sesungguhnya. Kenyataan yang terjadi, justru oligarki politik berkembang luar biasa di berbagai daerah Indonesia selama era reformasi.
Reformasi memang melahirkan sistem otonomi daerah. Tujuan awal lahirnya otonomi daerah ada dua. Pertama melahirkan dan mematangkan demokrasi di tingkat lokal. Kedua, memunculkan pemerataan kesejahteraan dengan mengoptimalkan pelayanan publik di daerah. "Sayangnya, dua-duanya ini tidak tercapai saat ini,"ujar Ubaidillah Badrun.
Yang terjadi justru tumbuh suburnya politik dinasti di berbagai daerah di Indonesia. Pergantian kekuasaan hanya berlangsung di lapis elit politik tertentu. Situasi ini melahirkan sosok pemimpin daerah seperti Ketua Geng. Akibatnya, tiap kali muncul pemimpin baru usai pemilukada, muncul pola korupsi baru dengan merekayasa APBD yang dibuatnya.
Ia mengatakan, jalan keluar dari situasi ini adalah memunculkan gerakan baru dengan visi politisi baru, tanpa mau menggunakan kembali politik transaksional. "Harus mulai digalakkan pola kampanye tanpa uang. Para politisi harus merevolusi manuver politiknya. Contohnya adalah Ahmeddinejad di Iran, yang berkampanye tanpa uang," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News