kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45913,99   -12,74   -1.37%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

BI Masih Kaji Bentuk Mata Uang Digital Bank Sentral (CBDC) yang Pas untuk Indonesia


Kamis, 31 Maret 2022 / 16:46 WIB
BI Masih Kaji Bentuk Mata Uang Digital Bank Sentral (CBDC) yang Pas untuk Indonesia


Reporter: Bidara Pink | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Pembicaraan tentang mata uang digital bank sentral atau central bank digital currency (CBDC) menjadi pembicaraan hangat di negara-negara dunia selama beberapa tahun terakhir, termasuk di Indonesia. 

Bank Indonesia (BI) mengatakan, hingga saat ini pihaknya masih mengkaji secara komprehensif mengenai CBDC yang nantinya akan diterapkan di Indonesia. 

“Kami masih terus mengkaji secara komprehensif dari sisi opsi-opsi teknologi yang paling pas untuk Indonesia, sehingga dapat mengoptimalkan manfaat dan meminimalkan risiko,” ujar Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo kepada Kontan.co.id, belum lama ini. 

Adapun, Dana Moneter Internasional (IMF) juga menyarankan agar Indonesia mengambil langkah bijak dalam memilih model CBDC yang akan diadopsi. Dalam hal ini, Indonesia harus mempertimbangkan karakteristik negara dan tujuan kebijakannya. 

Baca Juga: Ekonom Bank Danamon Nilai Indonesia Sudah Siap Terapkan CBDC

Lembaga tersebut kemudian mengutip kajian dari Zams dan tim pada tahun 2020, yang menyebutkan salah satu desain CBDC yang cocok dengan Indonesia adalah CBDC ritel (rCBDC), mengingat Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mementingkan transaksi menggunakan uang tunai. 

rCBDC dirancang sebagai perpanjangan digital uang tunai dan peran yang kelihatan di model ini adalah perbankan. Bank komersial bisa mengubah cadangan mereka menjadi rCBDC untuk memenuhi permintaan pengguna. Bahkan, ini tidak dikenakan suku bunga. 

Pilihan rCBDC ini juga didasarkan oleh nilai agregat transaksi uang elektronik di Indonesia yang telah meningkat signifikan sejak 2010. Bahkan, pada tahun 2021, transaksi uang elektronik tercatat Rp 305,4 triliun atau tumbuh 49,06% year on year (yoy). 

IMF juga mengutip kajian Statista yang mengungkapkan pada tahun 2020, pembayaran di e-commerce didominasi oleh dompet digital atau mencakup 30% dari keseluruhan total pembayaran e-commerce. 

Diikuti dengan 23% transfer bank, 15% menggunakan tunai saat diantar (cash on delivery), 14% menggunakan kartu kredit, dan 10% menggunakan kartu debit. 

Baca Juga: CBDC Jadi Salah Satu Bahasan di G20, Ini Fokus yang Dibahas

Lembaga keuangan non bank juga cukup menjamur di Indonesia, laporan Statista juga menyebut beberapa pemain lembaga keuangan non bank yang acap digunakan oleh rakyat Indonesia seperti Gopay, OVO, DANA, dan LinkAja.

Di sisi lain, IMF melihat adanya potensi penggunaan bentuk CBDC lain, yaitu wholesale CBDC (wCBDC). Namun, akses wCBDC ini lebih terbatas dan terutama terbuka untuk lembaga keuangan. Model ini digadang mampu meningkatkan efisiensi penyelesaian pasar keuangan. 

Peran yang menonjol di sini adalah bank sentral. IMF mengutip Mancini-Griffoli dalam penelitian di tahun 2018, bentuk ini membuat cadangan bank sentral diartikan sebagai bentuk grosir dan digunakan secara eksklusif untuk pembayaran antarbank. 

Penggunaan wCBDC dalam sistem pembayaran antarbank ini berpotensi mengurangi biaya dan meningkatkan manajemen likuiditas. Salah satu caranya adalah dengan menyelesaikan repo dengan wCBDC, baik di taraf sekuritas maupun uang tunai menggunakan sistem tunggal atau terintegrasi dalam platform CBDC. 

Baca Juga: Gubernur BI: Ada Pembatasan, Masyarakat Lebih Gemar Transaksi Secara Daring

“Ini bisa meningkatkan efisiensi penyelesaian dalam hal kecepatan dan kompleksitas, dibandingkan dengan sistem Indonesia saat ini yang menggunakan dua sistem, yaitu RTGS dan sistem setelmen surat berharga, dalam menyelesaikan transaksi,” jelas IMF. 

Lebih lanjut, IMF mengembalikan model yang akan dipilih kepada Indonesia sendiri. Penelitian lebih lanjut tentang pilihan model CBDC dan analisis dampak ekonomi makro bisa dilakukan. 

Ini perlu karena harus menimbang perkembangan pasar keuangan Indonesia, likuiditas sektor perbankan, ketersediaan Aset Likuid Berkualitas Tinggi atau High Quality Liquid Asset (HQLA), dan risiko terkait. 

Namun secara garis besar, pengenalan CBDC ini mampu menguntungkan pertumbuhan pasar keuangan Indonesia, terutama melalui perluasan instrumen yang memperkaya keragaman dalam pilihan pembayaran serta peningkatan inklusi keuangan lembaga keuangan non bank, juga fasilitasi pembayaran lintas batas. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×