Reporter: Handoyo | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Tahap demi tahap, kelengkapan implementasi kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) diselesaikan. Pasca disahkannya Undang-Undang (UU) Tapera pada Februari lalu, pemerintah akhirnya menetapkan keanggotaan Komite Tapera.
Keanggotan Komite Tapera terdiri dari Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Menteri Keuangan, Menteri Ketenagakerjaan, Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dan dari unsur profesional yakni Sonny Loho.
Namun demikian, persoalan mendasar atas kebijakan Tapera tersebut yakni berupa jumlah besaran iuran yang harus ditanggung oleh pekerja maupun pemberi kerja belum juga menemukan titik temu. Kalangan pengusaha lantang menolak beban tambahan tersebut.
Sekretaris Jenderal Kementerian PUPR Anita Firmanti mengatakan, seluruh ketentuan teknis turunan dari UU Tapera masih terus dikaji lebih mendalam. "Masih dalam pembahasan terus," kata Anita, Rabu (14/12).
Anita mengakui, selama ini persoalan krusial dalam kebijakan Tapera ialah berkait dengan besaran iuran yang harus dibayarkan oleh pekerja dan pemberi kerja. Namun demikian, pihaknya memastikan bila hal tersebut masih dalam tahap pembicaraan dan mengakomodir masukan-masukan dari berbagai pemangku kepentingan terkait.
Menurut Anita, pemerintah sangat terbuka dengan berbagai usulan dan keberatan dari pelaku usaha. Oleh karenanya, agar tidak tumpang tindih dengan berbagai kebijakan yang lain nanti akan dilakukan harmonisasi.
Sekadar catatan, Peraturan Pemerintah (PP) Tapera sebagai turuan dari UU Tapera yang salah satu isinya berupa penetapan besaran iuran paling lambat dua tahun sejak UU diundangkan harus terbentuk.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bidang Kebijakan Publik Danang Girindrawardana mengatakan, dalam menetapkan kebijakan terkait dengan besaran iuran Tapera ini perlu duduk bersama antar pemangku kepentingan dari unsur pemerintah, pengusaha maupun pekerja.
Pemerintah diminta tidak memberikan beban tambahan bagi pelaku usaha yang selama ini sudah sangat banyak pungutan baik untuk operasional maupun perlindungan jaminan sosial bagi pekerja. "Jangan sampai kebijakan ini menjadi ekstra pajak bagi pengusaha," kata Danang.
Meski tidak merinci, beban-beban yang selama ini turut ditanggung oleh perusahaan kepada pekerja adalah keikutsertaan dalam program-program di jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan (jaminan hari tua, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja dan jaminan pensiun). Beban yang dibayarkan tersebut jumlahnya dapat mencapai 10,24 -11,74% dari penghasilan pekerja.
Oleh karena itu menurut Danang perlu kehati-hatian pemerintah dalam mengambil kebijakan. Jangan sampai ketentuan tersebut membuat diinsentif bagi pengusaha sehingga mengakibatkan pengusaha sulit berkembang.
Seperti diketahui, meski belum ditetapkan namun sebelumnya pemerintah telah membuat ancang-ancang besaran iuran Tapera ditetapkan sebesar 3% dari upah sebulan. Sebesar 2,5% akan ditanggung pekerja dan 0,5% ditanggung oleh perusahaan.
Mantan Wakil Ketua Pansus RUU Tapera, M. Misbakhun mengatakan, perlu adanya sinkronisasi kebijakan dengan skema pembiayaan lain agar tidak memberatkan pengusaha. "Agar tidak ada beban ganda maka skemanya harus diatur lagi," kata Misbakhun.
Salah satu yang menjadi solusi agar kebijakan Tapera ini berjalan ialah menggabungkan dengan program Jaminan Hari Tua yang dimiliki oleh BPJS Ketenagakerjaan. Dengan penggabungan itu maka pengusaha dan pekerja tidak terlalu terbebani besaran iuran.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News