Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Risiko eksternal semakin menghantui ekonomi Indonesia. Sebab ancaman resesi ekonomi Amerika Serikat (AS), sebagai mesin utama ekonomi dunia, kian nyata.
Hal itu terbaca dari imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor tiga bulan yang lebih tinggi ketimbang yield sepuluh tahun. Sementara, yield obligasi AS tenor dua tahun terhadap sepuluh tahun belum terjadi perubahan.
Baca Juga: Duh, Masa Depan Ekspor RI Masih Suram premium
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo menilai, pelaku pasar global memandang peluang AS mengalami resesi semakin besar.
Persepsi pasar lanjut dia, berbeda dengan perkiraan The Fed bahwa ekonomi Negeri Paman Sam tersebut masih cukup baik yang tercermin dari sejumlah indikator, seperti terjaganya inflasi.
Menurut Dody, jika resesi AS benar-benar terjadi, maka akan berdampak secara global. "Dalam kondisi demikian, negara-negara akan mengandalkan sumber dari domestik untuk menopang pertumbuhan," kata Doddy kepada Kontan.co.id, Kamis (15/8).
Terhadap Indonesia, resesi ancaman AS setidaknya bakal berdampak pada dua hal. Pertama, pergerakan rupiah, lantaran sangat dipengaruhi faktor fundamental dan faktor sentimen. Bahkan, belakangan ini faktor sentimen lebih mendominasi, terutama dari perang dagang AS-China.
Kedua, defisit transaksi berjalan alias current account deficit (CAD). Sebab, ancaman resesi AS bakal berdampak terhadap penurunan harga minyak dunia.
Baca Juga: Waspadai Ancaman Resesi Global, Ini Strategi yang Harus Investor Terapkan premium
Ekonom Pemeringkat Efek Indinesia (Pefindo) Fikri C Permana menambahkan, inverted yield obligasi AS telah mampu memberikan sinyal setidaknya tujuh kali resesi dalam lima puluh tahun terakhir di AS. Ini membuat sentimen negatif pasar keuangan global meningkat.