kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45906,29   2,96   0.33%
  • EMAS1.310.000 -0,23%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bea materai properti dan saham bakal lebih besar


Kamis, 26 Maret 2015 / 10:15 WIB
Bea materai properti dan saham bakal lebih besar
ILUSTRASI. katalog promo Tupperware Oktober 2023


Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Pemerintah terus menyiapkan bahan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai. Selain akan mengubah tarif bea materai menjadi lebih besar, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) juga mengusulkan tarif bea meterai khusus (ad valorem) untuk dokumen transaksi properti dan transaksi saham. Tarif bea materai khusus tersebut diusulkan sebesar 0,1% dari nilai transaksi.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Sigit Priadi Pramudito mengungkapkan, tarif bea meterai transaksi saham dan properti  sebesar 0,1% merupakan angka yang tepat. Persentase itu terbilang kecil, sehingga tak memberatkan para investor saham ataupun pembeli properti. "0,1% sudah cukup," ujar Sigit, Kamis (19/3) lalu.

Menurut Sigit, usulan pengenaan besaran bea meterai khusus sesuai dengan standar internasional. Beberapa negara pun telah menerapkan aturan bea meterai ad valorem, seperti Singapura.

Asal tahu saja, di UU 13/1985 menyatakan dokumen properti yang menjadi obyek materai adalah akta-akta notaris termasuk salinannya dan akta-akta yang buatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)  termasuk rangkapannya. Lalu, semua dokumen efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, jika memiliki harga di atas Rp 1 juta juga menjadi obyek materai.

Awalnya, UU 13/1985 hanya mewajibkan penempelan materi senilai Rp 1.000 di setiap dokumen pertanahan dan properti dan efek. Bahkan, untuk efek yang bernilai kurang dari Rp 1 juta tapi di atas Rp 100.000 hanya dikenai bea materi Rp 500.

Namun, kebijakan itu telah mengalami revisi berkali-kali. Terbaru, keluar Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 yang mengatur besaran bea meterai untuk akta notaris, akta PPAT, dan efek lebih dari Rp 1 juta (termasuk sekumpulan efek) menjadi Rp 6.000. Untuk efek senilai di bawah Rp 1 juta terkena bea materi Rp 3.000.

Nah, pengenaan tarif bea meterai ad valorem ini merupakan bagian dari strategi Ditjen Pajak menggeber penerimaan. Ini demi mengejar target penerimaan pajak yang mencapai Rp 1.294 triliun tahun ini. Namun, Sigit enggan memaparkan potensi tambahan penerimaan pajak dari kebijakan ad valorem.

Selain ad valorem, revisi UU Bea Meterai juga akan menaikkan tarif meterai yang saat ini Rp 3.000 dan Rp 6.000. Usulan Ditjen Pajak, materai Rp 3.000 akan naik menjadi Rp 10.000 dan yang Rp 6.000 jadi Rp 18.000.

Potensi menghindar

Rencana kenaikan ini dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan masyarakat, pertumbuhan ekonomi, dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) saat ini. Pasalnya, UU Bea Meterai mengatur bahwa kenaikan tarif bea meterai dapat dilakukan maksimal enam kali dari tarif bea meterai pertama.

"Jadi Ditjen Pajak mengusulkan peningkatan tarif. Tetapi tidak ada perubahan (objek bea meterai) seperti akta notaris dan segala macam itu tetap. Yang ada, ad valorem. Dua itu saja," terang Sigit.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Jakarta Yustinus Prastowo berpendapat, penerapan tarif bea meterai ad valorem akan memberatkan masyarakat. Pemerintah juga akan kesulitan melakukan pengawasan. Apalagi bea meterai tidak bisa dikreditkan sehingga potensi penghindaran bea meterai ad valorem tersebut sangat besar.

Menurut Prastowo, pemerintah cukup menaikkan tarif bea meterai dan mengubah skema pengenaan bea meterai melalui tiga jenis tarif. Misalnya, untuk dokumen non komersial dikenai bea meterai Rp 10.000, lalu dokumen komersial dengan nominal Rp 2 juta hingga Rp 1 miliar terkena bea meterai Rp 20.000, dan untuk dokumen komersial dengan nominal lebih dari Rp 1 miliar dikenakan bea meterai Rp 50.000. Sementara untuk dokumen komersial dengan nominal kurang dari Rp 2 juta, bebas bea meterai.               

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×