Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) tahun 2022 mendapat perhatian serius dari Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri). Pasalnya, industri hasil tembakau (IHT) mengalami tekanan berat setiap kali CHT akan dinaikkan.
Selain menurunkan produktivitas IHT, kenaikan CHT juga menyuburkan pasar rokok ilegal. Terlebih dalam situasi pemulihan ekonomi seperti saat ini.
Ketua Umum Perkumpulan Gappri, Henry Najoan, menegaskan pihaknya memohon kepada pemerintah agar tarif cukai hasil tembakau pada Tahun 2022 tidak naik/tetap sebesar tarif CHT pada Tahun 2021.
Menurut Henry, saat ini pelaku industri hasil tembakau memerlukan insentif dari pemerintah untuk bertahan hidup menghadapi pandemi Covid-19, dan adanya pelemahan ekonomi serta daya beli yang melemah.
Baca Juga: Simplifikasi cukai rokok dinilai bisa makin menekan bisnis IHT
“Selayaknya perlakuan pemerintah terhadap IHT sama sebagaimana perlakuan pemerintah terhadap industri lainnya,” kata Henry Najoan, Kamis (28/10).
Gappri yang mewakili para pengusaha pabrik industri hasil tembakau (IHT) yang merupakan industri strategis Indonesia memberikan beberapa catatan kritis yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah.
Pertama, Gappri mengusulkan pemerintah melakukan strategi ekstra ordinary dalam pemberantasan peredaran rokok ilegal, sehingga mampu tertelusuri, transparan, terpadu dan ada efek jera bagi pelaku produksi dan pengedar rokok ilegal.
Hal ini diharapkan berdampak kepada tercapainya penerimaan cukai dan terciptanya ekosistem industri legal yang kondusif dalam jangka panjang.
Merujuk hasil survei Lembaga Survei Indodata, sebanyak 28,12% perokok di Indonesia pernah atau sedang mengkonsumsi rokok ilegal. Jika angka tersebut dikonversikan dengan pendapatan negara, maka potensi pajak yang hilang bisa mencapai Rp 53,18 triliun.
Baca Juga: Simak rekomendasi saham PTPP, ARTO, dan GGRM untuk Rabu (27/10)
Angka Rp 53,18 triliun itu keluar berdasarkan estimasi rentang peredaran rokok ilegal itu ada 127,53 miliar batang dan temuan hasil survei ini tidak jauh berbeda dengan perhitungan gap antara CK-1 dan Susenas yang sebesar 26,38%.
“Meningkatnya peredaran rokok ilegal adalah kenaikan tarif cukai yang tinggi di tahun 2020 dan tahun 2021,” terang Henry Najoan.
Kedua, Gapprijuga memohon agar pemerintah tidak melakukan penyederhanaan (simplifikasi) tarif cukai dan penggabungan Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM).
“Kami berharap pemerintah tidak melakukan perubahan apapun terhadap struktur cukai hasil tembakau karena akan memberatkan survive usaha dan daya saing lHT, terutama selama pandemi Covid-19 masih berlangsung dan daya beli yang melemah,” ujar Henry Najoan.
Baca Juga: Warga Nahdlatul Ulama kini punya media sosial, namanya NUchat
Ketiga, Pemerintah jangan terjebak desakan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Pasalnya, PP 109/2012 masih relevan. Terlebih, mengingat besarnya dampak negatif Covid-19 pada kesehatan dan perekonomian nasional, revisi tersebut dianggap tidak mendesak.
“Sebaiknya pemerintah tidak melanjutkan pembahasan revisi PP 109 Tahun 2012, mengingat hal ini bukan hal yang mendesak dan akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan merongrong kedaulatan hukum lndonesia,” tegas Henry Najoan.
Keempat, Gappri memandang penyusunan Roadmap lndustri Hasil Tembakau yang sedang dilakukan pemerintah akan efektif implementasinya di lapangan jika produksi dan peredaran rokok ilegal sudah tersistematis sistem pencegahannya secara extraordinary serta struktur produksi dan peredaran rokok ilegal telah terpotong dalam jangka panjang.
“Perumusan Roadmap agar sesuai pengaturan dalam Perpres No. 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” pungkas Henry Najoan.
Selanjutnya: Simplifikasi cukai rokok dinilai bisa makin menekan bisnis IHT
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News