kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.095.000   7.000   0,34%
  • USD/IDR 16.417   -75,00   -0,45%
  • IDX 7.854   106,16   1,37%
  • KOMPAS100 1.101   16,96   1,56%
  • LQ45 805   9,90   1,25%
  • ISSI 268   3,89   1,47%
  • IDX30 417   5,18   1,26%
  • IDXHIDIV20 484   5,68   1,19%
  • IDX80 122   1,41   1,17%
  • IDXV30 133   1,64   1,25%
  • IDXQ30 135   1,48   1,11%

Bantalan Anggaran Menipis Bikin RI Rentan Hadapi Ketidakpastian Ekonomi Global


Senin, 15 September 2025 / 06:00 WIB
Bantalan Anggaran Menipis Bikin RI Rentan Hadapi Ketidakpastian Ekonomi Global
ILUSTRASI. jika bantalan tersebut semakin menipis, maka akan rentan di tengah kondisi ketidakpastian global yang tinggi.


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bantalan anggaran pemerintah yang berasal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang tersimpan di Bank Indonesia (BI) dinilai menjadi salah satu pengaman dalam mengantisipasi dampak dari gejolak ekonomi global. Namun, jika bantalan tersebut semakin menipis, maka akan rentan di tengah kondisi ketidakpastian global yang tinggi.

Asal tahu saja, saat ini pemerintah memiliki SAL sekitar Rp 440 triliun. Di antaranya, akan digunakan Rp 85,6 triliun untuk menutup defisit tahun ini, Rp 16 triliun untuk pembiayaan Koperasi Desa Merah Putih, dan Rp 200 triliun disalurkan ke 5 bank pelat merah untuk melonggarkan likuiditas. Sehingga, sisa SAL diperkirakan mencapai Rp 138,4 triliun.

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics & Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman menyampaikan, secara manajemen kas, bantalan SAL tersebut relatif tipis karena kebutuhan rutin bulanan pemerintah bisa mencapai ratusan triliun, khususnya untuk belanja wajib seperti pembayaran gaji aparatur, pembayaran bunga surat berharga negara (SBN), serta transfer ke daerah (TKD).

Baca Juga: Uang Pemerintah yang Disimpan di BI Kian Menipis, Masih Aman?

Artinya, Rizal menyebut, sisa SAL ini baru aman bila dana Rp 200 triliun yang ditempatkan di bank Himbara benar-benar likuid dan dapat ditarik cepat ketika dibutuhkan.

“Jika tidak, maka posisi kas pemerintah rentan terutama di tengah ketidakpastian ekonomi global dan volatilitas pasar keuangan,” tutur Rizal kepada Kontan, Minggu (14/9/2025).

Ia menilai, risiko utama yang akan terjadi bila arus kas pemerintah menipis adalah keterlambatan pembayaran kewajiban, misalnya ke kontraktor atau pemerintah daerah, yang dapat menekan realisasi belanja dan berdampak ke aktivitas riil.

Selain itu, pemerintah bisa terpaksa menambah penerbitan SBN dalam kondisi pasar yang kurang kondusif, sehingga yield naik dan biaya bunga bertambah. Kondisi ini tidak hanya memperbesar utang secara kuantitas, tetapi juga menimbulkan beban bunga yang lebih tinggi di masa depan.

“Dengan kata lain, jika cashflow kering, utang berpotensi membengkak lebih besar dari proyeksi awal, baik karena volume pembiayaan yang meningkat maupun karena premi risiko yang lebih mahal,” ungkapnya.

Karena itu, disiplin dalam menjaga buffer likuiditas, strategi lelang SBN yang terukur, serta prioritisasi belanja wajib menjadi kunci agar fiskal tetap terjaga.

Adapun melihat kebelakang, era Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menjabat tepatnya pada 2015 pemerintah menghadapi tekanan serius karena harga minyak dunia anjlok dan penerimaan pajak meleset dari target.

Kondisi ini, lanjutnya, membuat arus kas negara menipis sehingga sejumlah belanja, khususnya belanja modal dan transfer ke daerah, harus ditunda pencairannya. Dampaknya tidak hanya teknis berupa penundaan proyek, tetapi juga sistemik karena pasar merespons dengan naiknya yield SBN akibat pemerintah harus mempercepat penerbitan obligasi.

Baca Juga: Dana SAL Rp 200 Triliun Masuk ke Bank, Stimulus Kredit atau Beban Baru?

“Situasi tersebut menambah beban bunga dan memunculkan keraguan investor terhadap kredibilitas APBN,” kata Rizal.

Pengalaman tersebut memberi pelajaran penting bahwa ketika kas pemerintah terlalu tipis, risiko yang muncul tidak hanya pada sisi belanja, tetapi juga pada stabilitas fiskal dan persepsi pasar.

Maka dari itu, Rizal menghitung, idealnya SAL dijaga pada level aman yang setara dengan satu hingga dua bulan kebutuhan belanja rutin wajib, seperti pembayaran gaji aparatur, bunga utang, dan transfer ke daerah.

“Dengan kebutuhan kas bulanan pemerintah yang rata-rata berada pada kisaran Rp 200 triliun hingga Rp 250 triliun, maka SAL yang sehat sebaiknya mencapai Rp 400 triliun hingga Rp 500 triliun,” hitungnya.

Dengan anggaran penyangga sebesar itu, menurutnya, pemerintah memiliki ruang yang cukup untuk menjaga stabilitas kas meski terjadi tekanan penerimaan atau volatilitas pasar pembiayaan.

Pasalnya, jika SAL turun di bawah batas satu bulan belanja wajib, risikonya bukan hanya terganggunya realisasi belanja, tetapi juga meningkatnya biaya utang dan melemahnya kredibilitas fiskal di mata investor.

Selanjutnya: Minat Investasi Tak Cuma Soal Kemudahan Izin

Menarik Dibaca: Ini Jadwal KRL Solo-Jogja pada 15-19 September 2025, Cepat Cek

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Tag


TERBARU

[X]
×