Sumber: Kompas.com | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Masyarakat adat memiliki peluang untuk memiliki tanah bersama melalui Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (Permen ATR) Nomor 10 tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada Dalam Kawasan Tertentu.
Seharusnya, peraturan ini dapat memberi jalan kepada masyarakat adat memiliki tanah yang bisa digunakan bersama-sama, baik dari sisi pengusahaannya maupun produksinya.
"Tetapi, dalam praktiknya, hak komunal tidak beda jauh dengan sertifikasi individual," ujar Sekretaris Jenderal (Sekjen) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (5/1).
Setelah setahun lebih peraturan ini disahkan, implementasinya malah jauh dari harapan.
Melalui hak komunal, seharusnya serikat tani, organisasi tani hingga masyarakat adat dapat mewujudkan kepemilikan bersama secara berkelompok atas tanah.
Namun, lanjut Dewi, dengan diberikannya sertifikat individu kepada masyarakat adat maka akan merusak tatanan masyarakat itu sendiri karena menjadi tidak gotong-royong.
"Risiko lepas dari komunitas itu tinggi dan mafia tanah, spekulan, akan mencoba masuk dan mendorong masyarakat melepas tanahnya. Akumulasi kapital masuk lagi," tutur dia.
Seharusnya, kontrol atas tanah berada di tangan kelompok, bukan individu, sehingga masyarakat akan memiliki relasi yang berbeda dengan tanahnya.
Lambat laun, relasi tersebut akan membentuk relasi sosial yang lebih kuat dengan penegakan prinsip-prinsip kolektivitas.
Contoh melencengnya pemberian hak komunal terjadi di Tengger, Jawa Timur, pada 2015.Saat itu, Menteri ATR/BPN menyerahkan 180 sertifikat bagi masyarakat adat Tengger.
"Kementerian ATR/BPN menjadikan Permen ATR Nomor 10 tahun 2016 sebatas instrumen untuk mengejar target sertifikasi bidang tanah yang telah ditetapkan pemerintah dalam program Prona," jelas Dewi.
Di satu sisi, pemberian tanah dari pemerintah untuk masyarakat 9 hutan beberapa waktu lalu merupakan langkah awal.
Harus dipastikan, tanah ini memang dilepaskan dari kawasan hutan. Dalam arti, statusnya naik menjadi hutan yang sepenuhnya digarap dan diduduki komunitas adat. (Arimbi Ramadhiani)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News