Reporter: Asep Munazat Zatnika, Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemkeu) mengaku masih mengkaji dampak aturan baru ekspor mineral dan batubara (minerba) mentah bagi penerimaan negara. Namun, aturan tersebut dipastikan bisa mendongkrak penerimaan negara.
Sebab poin utama dari aturan ini adalah pemerintah memperbolehkan perusahaan pertambangan mengekspor produk mineral mentah. Syaratnya, harus berstatus sebagai pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemkeu, Goro Ekanto menilai, kebijakan ini dipastikan akan mendorong penerimaan negara dari sektor pajak maupun kepabeanan. Sebab, setiap perusahaan yang memegang IUPK harus mengikuti ketentuan perpajakan yang berlaku. Ini berbeda dengan perusahaan yang hanya mengantongi Kontrak Karya (KK). "Kita tunggu rapat pleno dengan pihak ESDM untuk memastikannya," ujarnya.
Jika perusahaan yang tadinya berstatus KK kemudian berubah menjadi IUPK dan harus membayar kewajiban perpajakan, artinya ada potensi penambahan pajak. Selama ini, pemegang KK hanya membayar royalti tiap tahun.
Pemerintah juga berencana menaikkan tarif bea keluar atas ekspor minerba mentah. Goro mengatakan, Kemkeu kemungkinan menyetujui kenaikan batas atas tarif bea keluar. Saat ini, tarif bea keluarga adalah 7,5%.
Sebelumnya, Kementerian ESDM mengusulkan kenaikan maksimum bea keluar 10%. Tarif ini akan disesuaikan, tergantung jenis mineral yang akan diekspor serta kadar konsentratnya.
Balikkan tren penerimaan
Hanya saja, Kemkeu mengaku belum bisa memprediksi penerimaan pajak dan bea dari dibukanya ekspor ini. Namun, sebagai gambaran, penerimaan bea keluar sempat anjlok ketika pemerintah menyetop ekspor mineral mentah pada tahun 2014.
Ambil contoh, penerimaan bea keluar tahun 2014 tercatat Rp 11,32 triliun, turun dari tahun 2013 yang mencapai Rp 15,81 triliun. Artinya, bea keluar sempat anjlok 28,3%. Ini belum termasuk penerimaan pajak dari ekspor dan perusahaan. Makanya, Kemkeu berharap aturan ini bisa membalikkan tren penerimaan perpajakan yang menurun.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo memperkirakan, kebijakan ini akan berdampak kenaikan penerimaan pajak penghasilan PPh non migas dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News