Reporter: Benedictus Bina Naratama | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. PT Bumi Asih Jaya mengajukan eksepsi di dalam perkara kepailitan yang dimohonkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) setelah majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tidak menerima permohonan restrukturisasi utangnya.
Di dalam berkas jawabannya, kuasa hukum termohon, Sabas Sinaga mengajukan eksepsi kompetensi absolut dan syarat formil. Ia meminta kepada majelis hakimĀ untuk memeriksa permohonan eksepsi tersebut dan memberikan putusan sela sebelum masuk ke dalam pokok perkara.
"Perselisihan antara termohon dan pemegang polis secara abslut menjadi wewenang Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI). Sehingga Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili," ujar Sabas dalam berkas jawabannya, Selasa (31/3).
Sesuai dengan Pasal 54 ayat 1 Undang-undang No 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian menyatakan bahwa perusahaan asuransi wajib menjadi anggota lembaga mediasi yang berfungsi melakukan penyelesaian sengketa antara perusahaan asuransi dengan pihak lain yang berhak memperoleh manfaat asuransi. Nama lembaga mediasi tersebut adalah BMAI.
Penyelesaian sengketa oleh BMAI dapat dilakukan dengan tiga macam proses baik secara bertahap atau secara sendiri.
Pertama, mediasi diadakan oleh mediator untuk memfasilitasi negosiasi antara pihak yang bersengketa guna mencapai perdamaian tanpa memberikan putusan atas perkara. Kedua, ajudikasi oleh tiga ajudikator yang memeriksa dan membuat putusan sengketa jika perdamaian melalui mediasi gagal tercapai. Ketiga, arbitrase oleh tiga orang arbiter yang memeriksa dan mengadili sengketa jika proses ajudikasi gagal.
Selain itu, dalam eksepsi syarat formil, termohon menilai permohonan kepailitan yang diajukan oleh OJK tidak memiliki legal standing. Berdasarkan Pasal 51 ayat 1 UU perasuransian menyebutkan bahwa kreditur menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan niaga.
Namun pada faktanya, yang bertindak sebagai pemohon dalam perkara ini adalah Dewan Komisioner OJK bukan pemegang polis. Permohonan ini juga dinilai prematur karena disaat bersamaan terdapat sengketa Tata Usaha Negara antara termohon dan pemohon kepailitan yang masih berperkara di Mahkamah Agung.
Saat ini, termohon telah mengajukan permohonan kasasi atas putusan PTUN tentang pencabutan izin usaha di bidang asuransi jiwa oleh OJK pada Oktober 2013 silam. Dikhawatirkan bisa terjadi tumpang tindih antara putusan MA dengan putusan perkara pailit oleh PN Jakpus.
Terkait dengan adanya nilai utang dan kreditur lain, Sabas berpendapat permohonan OJK ini tidak jelas. Ia menilai klaim asuransi tidak dapat dijadikan utang dan pemegang polis tidak dapat disebut kreditur lainnya. Di dalam dalil permohonannya, OJK juga selalu menyebutkan pembayaran klaim manfaat asuransi, bukan utang.
Dalam pasal 1 angka 1 UU Perasuransian, klaim asuransi adalah tuntutan pengakuan atas suatu fakta bahwa seseorang mempunyai hak atas manfaat dari adanya perjanjian asuransi. Ia mengungkapkan dasar hukum OJK untuk memohonkan pailit dengan Pasal 2 ayat 5 UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU dinyatakan tidak berlaku bagi perusahaan asuransi dan reasuransi.
Sebelumnya, termohon mengajukan permohonan PKPU sebagai tanggapan dari permohonan pailit ini dengan nomor 27/Pdt.Sus/PKPU/2015/PN/Jkt.Pst. Namun permohonan akhirnya tidak dapat diterima oleh majelis hakim karena perusahaan asuransi tersebut tidak berwenang mengajukan PKPU.
"Menyatakan permohonan PKPU yang diajukan pemohon tidak dapat diterima," tutur Titik Tedjaningsih, Jumat (20/3).
Perkara dengan No 4/Pdt.Sus/Pailit/2015/PN.Jkt.Pst ini akan dilanjutkan pada 1 April 2015 dengan agenda tambahan bukti dan pemeriksaan saksi dan ahli dari pemohon
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News