kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Astuin: Moratorium transshipment jadi bumerang


Kamis, 15 Januari 2015 / 19:37 WIB
Astuin: Moratorium transshipment jadi bumerang
ILUSTRASI. Karyawan menunjukkan emas batangan di Kantor Pusat Galeri 24 Pegadaian, Jalan Salemba Raya, Jakarta. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/rwa.


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Mesti Sinaga

JAKARTA. Pelaku usaha perikanan tengah risau. Langkah Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiatusti menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 57 Tahun 2014 tentang penghentian bongkar muat di tengah laut atawa transshipment membuat mereka gelagapan. Sebab, aturan itu bisa membuat sebagian kapal-kapal mereka harus berhenti beroperasi.

Ketua Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) Eddy Yuwono menyatakan kebijakan Menteri KKP  yang bertujuan menekan praktik penangkapan ikan secara ilegal sebenarnya baik. Namun ketika kebijakan itu dipukul rata untuk semua pelaku usaha perikanan dalam negeri – termasuk mereka yang selama ini menaati perizinan dan aturan - maka kebijakan itu membawa bumerang dan bencana bagi pelaku usaha perikanan. Pelaku usaha bakal mengalami kerugian hingga miliaran rupiah akibat moratorium transshipment.

Eddy mengatakan, saat ini anggota Astuin memiliki 600 kapal tangkap tuna di seluruh wilayah Indonesia. Nah dari jumlah tersebut, sebanyak 150 kapal ikan tidak dapat beroperasi karena Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSKP) tidak menerbitkan Surat Layak Operasi (SLO) bagi 150 kapal penangkap ikan tersebut. 

Kerugian yang dialami pun tidak sedikit. Setiap kapal rata-rata menghasilkan 30 ton sampai  40 ton ikan per tiga bulan. Jika dikalikan harga ikan rata-rata Rp 60.000 per kilogram (kg), maka kerugian berkisar Rp 1,8 miliar sampai Rp 2,4 miliar per kapal. Bila dikali 150 kapal, maka total kerugian Rp 270 miliar hingga Rp 360 miliar per tiga bulan.

"Jadi semua kapal tersebut saat ini menganggur di pelabuhan Muara Baru," tutur Eddy kepada KONTAN, Kamis (15/1).

Dia mengatakan, kapal tersebut dianggap melanggar Peraturan Menteri No.57 tahun 2014 yang baru terbit Desember 2014 lalu. Eddy mengatakan, Peraturan Menteri itu langsung diberlakukan tanpa sosialisasi kepada pengusaha. Saat kebijakan diterbitkan, sebagian kapal anggota Astuin masih berlayar di tengah laut dan tidak mengetahui soal kebijakan baru tersebut. 

Para pelaku usaha perikanan tidak tinggal diam terhadap kebijakan yang merugikan mereka tersebut. Mereka telah melayangkan surat dan meminta bertemu dan berdialog dengan Menteri KKP Susi. Namun sampai saat ini surat dan permintaan berdialog itu belum juga mendapat respons.

Menurut Eddy, para pelaku usaha perikanan siap bila dikenakan sanksi atas kapal-kapal mereka. Yang membuat mereka bingung, nasib kapal-kapal yang sekarang menganggur di pelabuhan tersebut digantung, alias tidak diberikan kejelasan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×