Reporter: Anna Suci Perwitasari | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Tergabung dalam Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo), produsen terigu meminta pemerintah merevisi aturan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk impor terigu untuk pakan ternak.
Ketua Aptindo Franky Welirang menjelaskan, selama ini, penjualan bahan pakan ternak menikmati pembebasan PPN sebesar 10%. Pasalnya, sejak tahun 2003, pemerintah menetapkan pakan ternak sebagai barang strategis sehingga bebas PPN atau istilah dalam perpajakan lebih tenar sebagai PPN ditanggung pemerintah (PPN DTP).
Kata Franky, kondisi ini dimanfaatkan oleh pengusaha 'nakal' memilih impor langsung tepung terigu dengan dalih untuk pakan ternak.
Tak pelak, ini menciptakan ketidakadilan bagi produsen terigu seperti mereka. Selama ini, mereka harus membayar PPN 10% atas produk yang mereka jual. Padahal, selain memproduksi tepung terigu untuk makanan, produsen tepung terigu ini juga membuat pakan ternak.
Dalam catatan Aptindo, sepanjang 2012, PPN yang telah dibayar oleh industri terigu mencapai Rp 232,9 miliar. Dari jumlah itu, yang bisa di kreditkan ke konsumen hanya sebesar Rp 43,9 miliar. Alhail, pengusaha harus menanggung Rp 190 miliar sisanya.
Kondisi ini tentu merugikan produsen tepung terigu lokal karena harus menanggung PPN DTP. Mereka kesulitan meminta PPN bahan pakan ternak yang seharusnya ditanggung oleh pemerintah. "Importir terigu paling diuntungkan oleh kondisi seperti ini," ujarnya.
Dengan dalih untuk impor untuk pakan ternak, bukan mustahil terjadi kebocoran di pasar. Terigu yang harusnya untuk pakan ternak dijual untuk makanan. "Tidak hanya merugikan produsen terigu tapi juga konsumen," ujar Franky saat berkunjung ke KONTAN, Kamis (14/3).
Agar sehat tercipta fairness, Aptindo mengusulkan agar bea masuk terigu impor dinaikkan dari 5% menjadi 15%. Apalagi, Aptindo juga mensinyalir telah terjadi dumping. Harga jual tepung terigu impor lebih rendah dari harga gandum impor. Selain itu, saat ini negara lain juga mengenakan bea masuk tinggi produk terigu impor.
Masih dipertimbangkan
Franky bilang, protes ini sudah dilayangkan ke Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan. Menurut Fanky, BKF memberikan tanggapan positif, meskipun belum menyetujui usulan tersebut.
Kabarnya, direktorat Jenderal Pajak saat ini juga masih melakukan kajian atas usulan Aptindo. Hanya saja Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kismantoro Petrus belum bisa memberikan banyak komentar soal usulan ini.
Secara normatif Kismantoro menjelaskan, bahwa kebijakan perpajakan akan memertimbangkan beban dan pemerataan kesejahteraan masyarakat.
Ia mengakui, banyak pihak yang berusaha mengurangi kewajiban pembayaran pajak dengan mencari untung dengan menurunkan biaya tapi tidak mau menurunkan harga produk.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News