Reporter: Patricius Dewo | Editor: Yudho Winarto
Shinta juga bilang bahwa produk-produk tersebut mencakup 50,23% dan kebanyakan tidak menerima manfaat GSP AS.
“Bahkan untuk kapas, industri kita memiliki komplementaritas yang tinggi sebagai bahan baku industry tekstil yang diekspor kembali ke AS di mana Indonesia merupakan importir terbesar keempat untuk komoditas ini pada 2017 dengan nilai US $ 501,61 Juta atau 8,61% total ekspor AS ke dunia,” katanya.
Kedua adalah, fakta bahwa Indonesia tidak pernah mendiskriminasi AS sebagai mitra Most Favoured-Nation World Trade Organization (WTO) yang sampai sekarang, Indonesia dan AS tidak memiliki perjanjian perdagangan yang digunakan untuk memberikan perlakuan khusus untuk akses pasar baik barang, jasa, maupun investasi.
"Karena itu, Indonesia hanya bisa memberikan AS “fair and equitable treatment” seperti yang diberikan kepada mitra dagang anggota WTO lainnya. Untuk investasi pun, perusahaan mereka terkonsentrasi di bidang pertambangan yang hasilnya dikirim kembali untuk mendorong industri nasional mereka. Investasi di Indonesia, secara umum memiliki pertumbuhan positif dengan pengecualian di pertambangan migas dan batu bara, karena perubahan tren dunia untuk mengonsumsi energi terbarukan,” kata Shinta.
Ketiga, Indonesia menyambut dengan tangan terbuka soal impor, barang, jasa, dan investasi AS yang dibutuhkan. Untuk beberapa produk, Indonesia juga membiarkan didominasi oleh barang impor dari AS.
Salah satunya adalah impor daging babi, di mana Indonesia mengimpor sebesar US$ 1,36 juta daging babi atau 93,8% total impor di 2017. Bahkan selama 10 tahun ini rata-rata impor daging babi asal AS mencapai US$ 1,08 miliar per tahun, di mana pada 2017 bahkan menjadi tahun dengan impor terbesar.
“Hal ini menunjukkan bahwa sertifikasi dan inspeksi atas impor daging babi yang dikeluhkan pengusaha AS tidak memiliki dampak yang signifikan," paparnya.