kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Apindo: Pengusaha tak perlu cemas dengan fasilitas GSP


Selasa, 24 Juli 2018 / 17:54 WIB
Apindo: Pengusaha tak perlu cemas dengan fasilitas GSP
ILUSTRASI. Shinta Widjaja Kamdani CEO Sintesa Group


Reporter: Patricius Dewo | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai pemerintah tidak perlu cemas mengenai pemberian fasilitas Generalized System Preferences (GSP) oleh pemerintah Amerika Serikat (AS). Pasalnya dengan adanya fasilitas tersebut menunjukkan bahwa Indonesia-AS adalah teman sejawat yang saling membutuhkan dan saling melengkapi.

"Kita tidak dalam posisi rivalitas, justru selama ini pondasi hubungan yang terjalin bersifat positif dan saling menguntungkan. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk cemas terhadap berbagai review kebijakan yang dilakukan oleh AS selama pemerintah konsisten dalam menciptakan iklim bisnis yang kondusif dan tidak mengeluarkan kebijakan yang justru kontraproduktif,” ujar Shinta Widjaja Kamdani, Wakil Ketua Apindo bidang Hubungan Internasional dan investasi pada Kontan.co.id, Selasa (24/7).

Shinta ,mengungkapkan dari total tiga paramater review kelayakan GSP, Indonesia saat ini tengah direview terkait akses pasar yang “fair” dan “equitable” terhadap produk barang, jasa dan investasi AS.

Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) dan Apindo juga mengharapkan pada dunia usaha agar tidak perlu cemas mengenai isu akses pasar untuk Indonesia dan hubungan pengusaha antar Amerika dengan Indonesia.

Dalam memberikan pandangan tersebut Apindo dan Kadin menyoroti lima isu penting. Pertama, hubungan dagang dan investasi yang selama ini berjalan akan menguntungkan kedua pihak karena akan saling melengkapi bukan saling berkompetisi.

"Karena bila dilihat dari data perdagangan UN Comtrade, ekspor utama Indonesia adalah tekstil dan sepatu olahraga yang diekspor oleh pengusaha Indonesia yang merupakan bagian rantai pasok perusahaan AS , juga seperti karet alam dan ban yang merupakan input produksi industri otomotif AS, dan komponen elektronik untuk memenuhi kebutuhan berbagai industri AS, selain itu minyak sawit juga untuk berbagai industri dari produksi makanan hingga produk kecantikan, dan makanan laut yang tidak diproduksi di AS seperti udang air tawar ,” jelasnya.

Shinta juga bilang bahwa produk-produk tersebut mencakup 50,23% dan kebanyakan tidak menerima manfaat GSP AS.

“Bahkan untuk kapas, industri kita memiliki komplementaritas yang tinggi sebagai bahan baku industry tekstil yang diekspor kembali ke AS di mana Indonesia merupakan importir terbesar keempat untuk komoditas ini pada 2017 dengan nilai US $ 501,61 Juta atau 8,61% total ekspor AS ke dunia,” katanya.

Kedua adalah, fakta bahwa Indonesia tidak pernah mendiskriminasi AS sebagai mitra Most Favoured-Nation World Trade Organization (WTO) yang sampai sekarang, Indonesia dan AS tidak memiliki perjanjian perdagangan yang digunakan untuk memberikan perlakuan khusus untuk akses pasar baik barang, jasa, maupun investasi.

"Karena itu, Indonesia hanya bisa memberikan AS “fair and equitable treatment” seperti yang diberikan kepada mitra dagang anggota WTO lainnya. Untuk investasi pun, perusahaan mereka terkonsentrasi di bidang pertambangan yang hasilnya dikirim kembali untuk mendorong industri nasional mereka. Investasi di Indonesia, secara umum memiliki pertumbuhan positif dengan pengecualian di pertambangan migas dan batu bara, karena perubahan tren dunia untuk mengonsumsi energi terbarukan,” kata Shinta.

Ketiga, Indonesia menyambut dengan tangan terbuka soal impor, barang, jasa, dan investasi AS yang dibutuhkan. Untuk beberapa produk, Indonesia juga membiarkan didominasi oleh barang impor dari AS.

Salah satunya adalah impor daging babi, di mana Indonesia mengimpor sebesar US$ 1,36 juta daging babi atau 93,8% total impor di 2017. Bahkan selama 10 tahun ini rata-rata impor daging babi asal AS mencapai US$ 1,08 miliar per tahun, di mana pada 2017 bahkan menjadi tahun dengan impor terbesar.

“Hal ini menunjukkan bahwa sertifikasi dan inspeksi atas impor daging babi yang dikeluhkan pengusaha AS tidak memiliki dampak yang signifikan," paparnya.

Keempat, pemberian fasilitas GSP ini akan lebih menguntungkan pengusaha AS , karena praktik perdagangan Indonesia yang menggunakan skema Free On-Board (FOB), yang mana melalui skema ini, pengusaha Indonesia tidak bertanggung jawab untuk bea atau pajak apa pun yang dikenakan kepada barang yang diekspor melewati pelabuhan.

Praktik ini juga dilakukan saat pengusaha Indonesia mengimpor barang dari AS, sehingga seluruh tarif yang dikenakan pemerintah AS atas ekspor Indonesia dibayar oleh pembeli dan importir dari AS .

"Intinya, konsumen dan pengusaha AS merupakan penerima manfaat utama dari skema GSP. Manfaat sebesar US $ 1,8 miliar di tahun 2016 merefleksikan jumlah uang yang harus keluarkan oleh pengusaha AS di masa depan bila skema ini dicabut. Dan melihat sifat saling melengkapi perdagangan kedua negara, kami percaya pengusaha AS akan tetap membeli barang dari Indonesia karena tidak diproduksi di AS,” katanya.

Terakhir, terkait usaha pemerintah dalam menata perekonomian nasional, ia menyampaikan bahwa Indonesia adalah negara berkembang yang sedang berusaha keras dalam melakukan reformasi ekonomi guna meningkatkan daya saing di pasar global.

"Melalui peluncuran 16 paket kebijakan ekonomi, perbaikan sistem perpajakan, dan keinginan besar untuk memasuki negosiasi perjanjian perdagangan bebas adalah upayanya. Dalam beberapa hal memang masih ada yang belum sempurna, tetapi Kadin dan Apindo selalu bermitra dengan pemerintah untuk memberikan masukan terbaik," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×