Reporter: Dyah Megasari |
JAKARTA. Perhelatan konferensi negara-negara ekonomi Asia Pasifik (APEC) memang sudah berakhir. Namun awalnya, pertemuan 21 negara yang digelar di Bali ini mengundang penolakan dari berbagai pihak.
Penolakan ini terkait bakal tidak ada agenda signifikan yang bisa dihasilkan dari acara selama sepekan tersebut. Ujung-ujungnya pertemuan ini hanyalah pertemuan untuk transaksi jual beli yang mengatasnamakan negara, tanpa melibatkan kemakmuran masyarakat kecil.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi semula ada dalam barisan kelompok yang tidak menyetujui ada agenda APEC ini. Menurutnya, pertemuan itu tidak perlu ada karena tidak akan ada hasil berarti terutama bagi pengusaha. Namun ternyata, Sofyan juga datang dalam perhelatan tersebut. Bahkan Sofyan datang sebelum pergelaran APEC CEO Summit yang seharusnya dihadiri juga oleh Presiden AS Barack Obama.
Sebagai Ketua Apindo,Sofyan tentu memiliki kepentingan prioritas yang mengatasnamakan pengusaha domestik. Sofyan ini bertugas untuk melobi pengusaha dari negara lain, kalau perlu kepala negaranya agar mau berkongsi dengan pengusaha domestik. Tentu hasil dari lobi-lobi tersebut tidak bisa instan dalam sehari dua hari bisa terjadi. Sebab, pengusaha masing-masing negara tentu memiliki tujuan investasi sendiri sekaligus mengamankan "agenda usaha"-nya sendiri.
Pernyataan Sofyan di atas, ternyata diamini oleh Indonesia for Global Justice (IGJ). Direktur Eksekutif IGJ Riza Damanik menilai, bahwa KTT APEC ini berpotensi memperparah perekonomian Indonesia melalui berbagai kesepakatan perdagangan bebas regional yang dipayungi oleh Bogor Goals.
Fakta krusial AS-China
Dalam pandangan Riza, forum APEC ini juga ditunggangi oleh Perjanjian Perdagangan Bebas yang saat ini dalam proses negosiasi baik di dalam Trans Pacific Partnership (TPP) yang diinisiasi AS maupun ASEAN Regional Economic Comprehensive Partnership (RCEP) yang diinisiasi China.
Memang kedua negara super power tersebut sedang adu kekuatan khususnya dalam hal ekonomi. China dianggap lebih beruntung karena bisa tumbuh secara positif. Sementara AS sedang diselimuti awan shutdown pemerintahan dan krisis utang.
Riza memandang, bahwa KTT APEC telah digunakan oleh negara-negara industri, khususnya Amerika Serikat dan China, untuk semakin memperkuat pengaruhnya dalam kerja sama ekonomi kawasan baik di TPP maupun di ASEAN RCEP. Bagaimanapun, kawasan Asia Pacific merupakan potensi pasar yang besar karena populasinya mencapai hingga 40% dari populasi dunia, yang menguasai sebesar 55 persen GDP di dunia, dan 44% aktivitas perdagangan dunia berasal dari negara-negara APEC.
Oleh karena itu, Bogor Goals akan menjadi bermakna bagi pengaruh ekonomi AS dan China. Di sini, Riza menilai Bogor Goals hendak mengawinkan TPP dengan ASEAN RCEP, yang tidak semua negara di kawasan Asia Pacific tergabung ke dalamnya, melalui agenda FTAAP (Free Trade Area of the Asia Pacific). Inilah agenda terbesar di balik seluruh agenda pembahasan dalam KTT APEC di Bali tahun ini. Jadi semacam ada agenda terselubung di sini.
Dalam pengamatan Riza, agenda APEC ini juga tidak akan memberikan keuntungan bagi perdagangan Indonesia. Hal ini terbukti dengan neraca perdagangan Indonesia dengan negara-negara APEC cenderung defisit di sepanjang tahun 2012 hingga Januari-Juli 2013 yang didominasi dengan defisit di sektor non-migas.
Sementara Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Suryo Bambang Sulisto menilai, ajang APEC merupakan ajang kumpul-kumpul 21 negara yang menginginkan ada liberalisasi perdagangan dan investasi.
Tapi karena ini sudah terjadi, maka Suryo mengharapkan para pengusaha harus pandai-pandai memanfaatkan situasi dan waspada terhadap tawaran investasi dari negara lain. Artinya, liberalisasi perdagangan ini juga tergantung Indonesia juga, para pengusaha domestiknya.
Suryo menyebut, AS yang sudah dikatakan negara paling liberal terhadap pasarnya, tentu juga akan melindungi pengusaha lokalnya. Jadi pengusaha Indonesia juga tidak secara gampang untuk masuk ke pasar negeri Paman Sam tersebut. Apalagi dengan agenda terselubung tadi, maka barang-barang Indonesia tidak akan mudah masuk ke sana.
Kembali lagi, Indonesia memang harus bisa mengambil sikap dengan adanya pertemuan tersebut. Indonesia tidak hanya dipandang sebagai potensi pasar yang besar saja tapi harus mampu berperan melindungi pengusaha lokal dan berusaha membawa pengusaha lokal ini mampu berkancah di pasar internasional.
Sehingga pemerintah bisa melindungi dari agenda terselubung AS-China yang mana produk-produk dari kedua negara super power tersebut sebenarnya sudah membanjiri pasar Indonesia. Memang Indonesia selalu jadi pasar empuk negara mana pun. (Didik Purwanto/Kompas.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News