Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memperkirakan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) masih akan terus terjadi diberbagai perusahaan layanan digital. Mulai dari Fintech, Edutech dan Healtech.
Menurutnya, tahun depan kondisi ekonomi dengan adanya ancaman resesi global membuat persaingan pencarian dana dari investor semakin ketat. Untuk itu, founder maupun CEO perusahaan digital harus bersiap menghadapi tekanan yang lebih besar.
Bhima bilang, gelombang PHK di perusahaan digital disebabkan oleh tekanan makro-ekonomi yang cukup berat pasca pandemi covid-19, mulai dari kenaikan inflasi, tren penyesuaian suku bunga, pelemahan daya beli, risiko geopolitik dan model bisnis yang berubah signifikan.
Baca Juga: Jelang Puncak Musim Hujan, Warga Jakarta Diimbau Siap Hadapi Banjir
"Pasca pandemi awalnya diharapkan akan terjadi kenaikan jumlah user dan profitabilitas layanan yang kontinu. Sebaliknya harapan mulai pupus ketika konsumen terutama di Indonesia dan negara Asia Tenggara berhadapan dengan naiknya inflasi pangan dan energi sekaligus, sehingga mengurangi pembelian barang dan jasa melalui layanan platform digital," ujar Bhima dalam keterangannya, Minggu (20/11).
Bhima menyebut, hampir sebagian besar stratup yang melakukan PHK massal disebut sebagai Pandemic Darling, atau perusahaan yang meraup kenaikan Gross Merchandise Values (GMV) selama puncal pandemi 2020-2021. Karena valuasinya tinggi, maka mereka dipersepsikan mudah dalam mencari pendanaan baru.
Namun faktanya, agresifitas ekspansi perusahaan digital ternyata ini tidak sebanding dengan pencarian dana baru dari investor. Banyak investor terutama asing menjauhi perusahaan dengan valuasi tinggi tapi secara profitabilitas rendah, atau model bisnisnya tidak sustain (berkelanjutan).
Baca Juga: Mengapa PHK di Perusahaan Teknologi Lagi Marak?
Oleh karena itu, fenomena overstaffing atau melakukan rekrutmen secara agresif menjadi salah satu penyebab akhirnya PHK massal terjadi.
Banyak founder dan CEO perusahaan yang over-optimis, ternyata pasca pandemi covid-19 reda, masyarakat lebih memilih omichannel bahkan secara penuh berbelanja di toko offline (hanya pembayaran pakai digital/mobile banking-transaksi dilakukan manual).
"Akibat overstaffing biaya operasional membengkak, dan menjadi beban kelangsungan perusahaan digital," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News