Reporter: Barly Haliem | Editor: Sandy Baskoro
Sementara itu, saya mengamati ada pihak yang kurang nyaman dengan pernyataan Presiden Trump. Mereka menganggap Trump justru menyulut kemarahan masyarakat yang sedang marah itu. Misalnya, kata-kata “when the looting starts, the shooting starts”. Juga pernyataan yang menyalahkan para Gubernur dan Walikota sebagai lemah dan tak mampu mengatasi masalah.
Bukan hanya merasa tidak nyaman, sebagian pemimpin daerah itu juga tidak setuju kalau National Guard serta merta diturunkan ke jalan-jalan. Artinya, Trump juga menghadapi “pembangkangan” dari sejumlah pemimpin daerah.
Saya tidak tahu apakah rakyat Amerika punya militansi dan kenekatan yang tinggi manakala harus melawan pemerintah yang dinilai tidak adil. Seperti perlawanan rakyat yang terjadi di negara-negara berkembang.
Sejarah telah menunjukkan banyak pemimpin, sekuat apapun dia, yang akhirnya jatuh karena mayoritas rakyat menghendaki dia jatuh. Sebesar apapun militer dikerahkan untuk menyelamatkan sebuah rezim, kalau rakyat sudah bergerak, tumbang juga mereka. Perlawanan sosial seperti ini saya ragu bakal terjadi di Amerika.
Alasan saya, demokrasi dan sistem politik sudah sangat mapan di negara itu. Kedua, yang turun ke jalan-jalan sekarang ini belum tentu mewakili mayoritas rakyat Amerika.
Ketika Politik Pilpres “Involved”
Para pengamat politik tahu, baik internasional maupun di Amerika sendiri, situasi di negara itu khas. Lima bulan lagi akan dilaksanakan Pemilihan Presiden. Trump tentu sangat ingin terpilih lagi. Ini tentu sah bagi seorang petahana. Sementara, penantangnya Biden juga punya ambisi untuk mengalahkan Trump. Perhatikan komentar dan kritik Biden terhadap penanganan aksi-aksi protes yang dilakukan Trump saat ini.
Trump diibaratkan tengah bersiap untuk memasuki kembali ring tinju, tapi kakinya diberati oleh 3 pemberat. Rapor Amerika dalam menangani pandemi Covid-19, ekonomi yang suram dan gelombang unjuk rasa besar. Ini pasti menjadi handicap yang besar bagi Trump. Kecuali, jika dia mampu mengubah krisis itu menjadi peluang. Tapi bagaimana caranya?
Saya pribadi harus berhati-hati dalam membuat prediksi, apakah Trump akan terpilih kembali atau tidak. Bagi negara yang rakyat dan politiknya sangat terbelah saat ini (divided), belum tentu Trump kalah. Celah ini barangkali yang akan digunakan Trump untuk kepentingan politiknya.
Trump tahu mana yang minoritas dan mana yang mayoritas di negaranya. Bisa saja aksi protes yang umumnya dilakukan oleh komunitas kulit hitam ini justru akan digunakan untuk membangun kubu yang “di seberang”.
Ujungnya rasisme juga. Tesisnya kembali menciptakan “division” dan bukan “unity”. Politik pembelahan atas dasar identitas. Dalam politik, untuk mencapai kemenangan seolah cara apapun halal, meskipun dianggap tidak etis. The ends justify the means.
Namun, strategi begini belum tentu akan dilakukan Trump guna memenangkan pemilihan presiden bulan November 2020 mendatang. Tapi, bagaimanapun ada kemungkinan dan logikanya.
Saat ini orang nomor satu di Amerika itu sedang menghadapi permasalahan yang pelik dan tantangan yang berat. Memang pemimpin sejati akan diuji apakah dalam menghadapi situasi krisis, dia bisa berpikit jernih serta bisa mengambil keputusan dan tidakan yang tepat.
Sangat mungkin Trump bisa ke luar dari krisis besar ini. Satu-satunya tantangan berat yang dihadapi, menurut saya, adalah jika Trump dihinggapi perasaan takut. Fear.
Apa yang saya maksud dengan “fear” dalam kaitan ini?
Bagi seorang yang tengah memegang kekuasaan, biasanya dia takut kalau kekuasaan itu hilang. Lost of power. Bagi seorang “incumbent” yang akan melakukan pemilihan umum lagi, dia takut kalau tak lagi terpilih. Alias kalah.
Rasa takut akan kalah yang tinggi bisa menuntun pikiran dan tindakan yang salah. Salah satu godaan yang dihadapi orang yang demikian adalah tindakan menyalah gunakan kekuasaan. Abuse of power.
Saya sering menyampaikan apa yang pernah dikatakan oleh John Steinbeck tentang kaitan takut dengan kekuasaan. Steinbeck mengatakan bahwa sesungguhnya kekuasaan itu tidak “corrupt”. Tetapi justru rasa takutlah yang mendorong disalahgunakannya sebuah kekuasaan.
Ketakutan akan kehilangan kekuasaan itulah yang mendasarinya. (Power does not corrupt. Fear corrupts ... perhaps the fear of loss of power).
Trump, menurut saya tak harus tergoda dengan penggunaan kekuasaan yang tidak amanah ini, jika pun dia merasa takut kalah. Sebagai tokoh bisnis dan kini politisi, sebenarnya dia punya kemampuan untuk menang dalam sebuah kompetisi.
Dia pernah menang melawan Hillary Clinton, kandidat yang kuat, di tahun 2016, karena cukup cerdik dan piawai dalam berkampanye.
Demikian juga dalam menangani 3 persoalan dan tantangan berat saat ini ~ pandemi, ekonomi dan protes sosial ~ Trump tetap punya peluang untuk sukses. Banyak cara yang dapat dipilih. Karenanya, ada baiknya dia ingat apa yang dikatakan oleh Steinbeck tadi.
Akankah Terjadi Perubahan di Amerika?
Banyak yang terharu mendengarkan ucapan saudara kandung mendiang George Floyd. Dia mengajak agar unjuk rasa menyusul tewasnya saudaranya itu tetap dilakukan secara peaceful. Tertib dan damai. Hindari kekerasan.
Dia juga mengatakan bahwa perjuangan besar mereka, kaum kulit hitam, adalah terjadinya perubahan. Bahasa kaum minoritas itu adalah Amerika harus berubah dalam memandang dan memerlukan warga kulit hitam.
Rasisme harus dihentikan. Rasisme telah terjadi secara sistematik dan struktural. Mereka juga menuntut agar kebrutalan polisi jangan terus terjadi. Kultur buruk itu harus diubah.
Barangkali yang disuarakan oleh para pengunjuk rasa saat ini ya itu. Cuma masalahnya menjadi ruwet karena protes-protes itu disertai pula dengan kekerasan, pembakaran dan penjarahan. Ekses inilah yang bisa mengganggu kemurnian perjuangan yang bertemakan hak asasi dan keadilan itu.
Apakah kata-kata saudara Floyd itu bisa menjadi kenyataan? Perubahan akan terjadi. Bangsa Amerika sendirilah yang bisa menjawabnya.