Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menuntut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar dengan hukuman pidana penjara seumur hidup dan denda sebesar Rp 10 miliar.
Akil dinilai terbukti bersalah menerima suap dan gratifikasi terkait sengketa penanganan perkara sengketa Pilkada di MK serta melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
"Menuntut majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi supaya menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Akil Mochtar berupa pidana seumur hidup dan denda Rp 10 miliar," kata Jaksa Pulung Rinandoro saat membacakan amar putusan Akil di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Senin (16/6).
Jaksa juga menuntut agar majelis hakim memutuskan untuk menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang dilakukan berdasarkan aturan umum.
Hal-hal memberatkan yang menjadi pertimbangan untuk memutuskan tuntutan Akil yakni perbuatannya yang melakukan korupsi dilakukan saat negara sedang giat memberantas korupsi.
Selain itu, Akil juga sebagai ketua lembaga tinggi negara yang merupakan ujung tombak dan benteng terakhir masyarakat mencari keadilan, perbuatannya dinilai telah meruntuhkan kewibawaan MK sebagai benteng terakhir penegakan hukum.
"Diperlukan waktu yang cukup lama untuk mengembalikannya kepercayaan masyarakat terhadap MK," tambah Jaksa Pulung.
Akil juga dinilai tidak kooperatif, tidak jujur dalam persidangan, tidak mengakui kesalahan, dan tidak menyesali perbuatannya. Sementara, jaksa tidak memiliki alasan dalam meringankannya.
Akil dinilai terbukti menerima uang sebesar Rp 57,78 miliar dan US$ 500 ribu dari 15 pengurusan sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK). Rinciannya, sebesar Rp 50,15 dan US$ 500 ribu merupakan uang suap dari sembilan pilkada yakni Gunung Mas, Lebak, Empat Lawang, Palembang, Lampung Selatan, Buton, Morotai, Tananuli Tengah, dan Jawa Timur.
Kemudian, sebesar Rp 125 juta merupakan penerimaan gratifikasi dari mantan Wakil Gubernur Papua Alex Hasegem terkait Pilkada Merauke, Asmat, Boven Digoel, Jayapura, dan Nduga. Sedangkan sisanya, sebesar Rp 7,5 miliar merupakan gratifikasi terkait Pilkada Banten.
Akil juga dianggap terbukti melakukan pencucian uang sebesar Rp 161,08 miliar dalam kurun waktu Oktober 2010 sampai Oktober 2013 atau selama dirinya menjabat sebagai Ketua MK. Selain itu, Akil juga dianggap terbukti melakukan pencucian uang sebesar Rp 20 miliar saat masih menjabat sebagai anggota DPR.
Perbuatannya melanggar Pasal 12 huruf c dan Pasal 11 Undang-Undang Tipikor, Pasal Pasal 3 dan Pasal 3 ayat 1 huruf a dan c Undang-Undang TPPU sebagaimana dalam dakwaan pertama, kedua, ketiga alternatif kedua, keempat, kelima, dan keenam.
Atas tuntutan jaksa, Akil tidak ingin menanggapinya. Sementara itu, salah satu penasihat hukum Akil, Adardam Achyar mengatakan pihaknya akan mengajukan nota pembelaan atas tuntutan (pledoi).
"Karena berkas begitu banyak dan tuntutan pidana luar biasa, kami mohon agar terdakwa atau kami untuk membela diri terdakwa. Tentu tidak terlepas memberikan waktu yang cukup untuk menyusun pembelaan itu," kata Adardam. Atas permohonan tersebut, Ketua Majelis Hakim Suwidya memutuskan untuk menggelar kembali persidangan pada 23 Juni 2014 mendatang dengan agenda pembacaan pledoi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News