Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Dosen Fisika di Institut Teknologi Bandung (ITB) sekaligus ahli forensik suara digital, Dr. Joko Sarwono menyimpulkan suara yang ada dalam rekaman sadapan dengan sampel suara Akil Mochtar memiliki tingkat kecocokan di atas 90%. Ia menilai, semua suara dalam rekaman sadapan dan suara sampel, diucapkan oleh orang yang sama termasuk suara Akil Mochtar.
Hal tersebut diungkapkan Joko saat bersaksi dalam persidangan kasus dugaan suap pengurusan sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK) dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan terdakwa mantan Ketua MK Akil Mochtar.
Joko mengatakan, ia diperintahkan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menganalisa enam sampel suara dalam bentuk data digital dan tersimpan di cakram digital. Enam sampel suara yang dimaksud adalah suara Akil, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, Susi Tur Andayani, Amir Hamzah, Kasmin, dan Alming Aling. Dia juga mendapat data berupa rekaman percakapan telepon hasil sadapan, yang dia beri kode 'unknown' (tidak diketahui).
Lebih lanjut menurut Joko, ia kemudian menggunakan cara analisa suara memakai perangkat lunak khusus. Indikator yang ia gunakan dalam mencari kecocokan suara mencakup empat hal, yakni intonasi, emosi, dialek, dan frekuensi dasar manusia atau diistilahkan pitch.
"Sampel yang kita periksa itu keenamnya di atas 80%. Komponen pitch masing-masing di atas 90%, dan formanya juga di atas 90%. Maka saya berkesimpulan sampel suara dan suara dalam rekaman intersepsi diucapkan oleh orang yang sama," kata Joko di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Kamis (22/5).
Cara menganalisa suara yang dilakukan, sambung Joko, telah sesuai dan bisa dipakai sebagai bukti dalam model persidangan yang dianut di Indonesia. Menurutnya, tidak mungkin ia menggunakan cara memperdengarkan sampel suara itu kepada beberapa pihak saja.
"Kalau itu kan menjadi subyektif. Lebih tepat digunakan kalau sistem persidangannya menganut sistem juri. Yang saya pakai adalah cara obyektif," tambah dia.
"Kalau itu kan menjadi subyektif. Lebih tepat digunakan kalau sistem persidangannya menganut sistem juri. Yang saya pakai adalah cara obyektif," ujar Joko.
Joko juga bilang, dirinya menggunakan perangkat lunak khusus dan berbayar dalam menganalisa suara tersebut. Dia meyakinkan jaksa, majelis hakim, terdakwa dan penasehat hukumnya program dia gunakan telah sesuai dengan panduan akademik dan memiliki standar internasional.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News