Reporter: Bidara Pink | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Data Mandiri Spending Index (MSI) menunjukkan kemungkinan tingkat belanja masyarakat periode setelah Ramadan dan Idul Fitri 2023 menurun.
Bila menilik ke belakang, Ramadan dan Idul Fitri tahun ini jatuh di bulan Maret dan April.
Estimasi data Mandiri Spending Index (MSI) pada Mei 2023 menunjukkan, indeks nilai belanja sebesar 175,1 atau menurun dari indeks April 2023 yang mencapai 210,8.
Sedangkan indeks frekuensi belanja Mei 2023 diperkirakan tercatat sebesar 361,6 atau lebih rendah dari bulan April 2023 yang mencapai 366,9.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengungkapkan, penurunan tingkat belanja masyarakat pada periode tersebut tidak murni karena normalisasi pasca Idul Fitri.
Baca Juga: Konsumsi Domestik Meningkat, Intip Prediksi Kinerja Emiten E-commmerce Tahun Ini
Menurut Bhima, ada kemungkinan masyarakat mulai menahan belanja dan bahkan ada juga lapisan masyarakat yang mulai mengalami pelemahan daya beli.
"Dengan demikian, masyarakat kini lebih menyusun skala prioritas. Ini bisa menjadi hambatan pemulihan konsumsi," terang Bhima kepada Kontan.co.id, Jumat (9/6).
Menurut Bhima, ada sejumlah peristiwa yang mendasari hal ini.
Pertama, tingkat inflasi yang masih tinggi. Memang, inflasi per Mei 2023 sudah kembali ke kisaran sasaran Bank Indonesia (BI) yang sebesar 2%-4% YoY.
Namun, inflasi masih berada di batas atas atau di level 4,00% YoY. Dengan tingkat inflasi ini, banyak masyarakat yang memprioritaskan belanja kebutuhan pokok.
Sebenarnya, ini juga sudah terlihat dari data April 2023. Di mana belanja masyarakat berkaitan dengan barang tahan lama seperti suku cadang kendaraan dan perlengkapan rumah tangga yang menurun.
Survei Penjualan Ritel BI menunjukkan, pembelian suku cadang kendaraan per April 2023 tercatat turun 6,6% YoY dan pembelian perlengkapan rumah tangga turun 3,9% YoY.
Baca Juga: Jaga Tren Penurunan Inflasi, Bapanas Waspadai Fluktuasi Harga Pangan
Kedua, pertumbuhan upah minimum yang mini menjadi hambatan pemulihan konsumsi masyarakat.
Bhima pernah mengungkapkan, idealnya upah minimum naik sekitar 11% hingga 12% untuk menyokong daya beli masyarakat di tengah tren inflasi tinggi.
Ketiga, ada faktor psikologis masyarakat yang mulai khawatir dengan rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% sesuai dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Dengan kondisi ini, Bhima khawatir pertumbuhan ekonomi kuartal II-2023 tak bisa lebih dari 5% YoY.
Padahal, dengan momentum Ramadan dan Idul Fitri, seharusnya pertumbuhan ekonomi berpotensi tumbuh lebih dari itu.
Bhima pun memperkirakan, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2023 hanya akan berkisar 4,9% YoY hingga 5% YoY.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News