kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ada BLBI Jilid II, mekanisme harus ketat dan jelas


Kamis, 26 Maret 2020 / 22:47 WIB
Ada BLBI Jilid II, mekanisme harus ketat dan jelas
ILUSTRASI. Buruh melakukan pelintingan Sigaret Kretek Tangan (SKT) di Kudus, Jawa Tengah, Rabu (31/8). Pekerja industri rokok di wilayah itu menolak wacana kenaikan rokok yang dinilai akan menurunkan jumlah produksi rokok dan berdampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)


Reporter: Grace Olivia | Editor: Adinda Ade Mustami

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah tengah menjajaki rencana penerbitan jenis surat utang baru yang disebut Recovery Bond guna menopang likuiditas keuangan dunia usaha dalam menghadapi dampak wabah Covid-19 di Indonesia saat ini, serta mencegah terjadinya gelombang pemutusan hubunga kerja (PHK).

Recovery Bond rencananya akan diterbitkan dalam denominasi rupiah untuk kemudian dibeli oleh Bank Indonesia (BI) atau investor swasta lain sehingga mengalirkan dana segar untuk pemerintah. Dana dari surat utang tersebut akan disalurkan oleh pemerintah untuk dunia usaha melalui skema kredit khusus. Skema ini mirip dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Baca Juga: Pemerintah siapkan skema BLT untuk pedagang, ojol, dan pekerja pusat perbelanjaan

Namun, rencana pemerintah tersebut dinilai berisiko. Pertama, potensi melonjaknya inflasi karena BI bisa membeli surat berharga negara (SBN) di pasar perdana yang akan diatur lewat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). 

Sebab, dalam Undang-Undang (UU) tentang Bank Indonesia, bank sentral tidak bisa melakukan pembelian SBN di pasar perdana untuk kepentingan sendiri.

Baca Juga: Kemenko Perekonomian alokasikan BLT untuk sekitar 29,3 juta penerima

"Kalau kemudian BI bisa membeli langsung SUN di pasar perdana, artinya BI menukarkan rupiahnya dengan surat utang sehingga jumlah uang beredar meningkat dan mendorong inflasi," tutur Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto kepada Kontan.co.id, Kamis (26/3).  

Risiko ini cukup berbahaya di tengah disrupsi supply dan demand barang akibat wabah Covid-19 saat ini. Peran BI dalam menjaga inflasi pada sasaran target sangat penting di tengah terjadinya penurunan produksi, kenaikan permintaan sejumlah barang dan bahan pangan yang memicu kelangkaan. 

Kedua, potensi penyalahgunaan atau moral hazzard dalam pemanfaatan dana hasil penerbitan Recovery Bond tersebut oleh dunia usaha. Pemerintah berencana akan menyalurkan dana hasil penerbitan kepada korporasi dalam bentuk kredit usaha untuk memberikan tambahan likuiditas. 

Baca Juga: Sektor penerbangan terpukul, Inaca harapkan sejumlah insentif dari pemerintah

Eko memandang, dibutuhkan sistem, mekanisme, dan standard prosedur yang sangat jelas dan ketat dalam penerbitan Recovery Bond maupun penyaluran kredit usaha khusus tersebut untuk memastikan kebijakan ini benar-benar dimanfaatkan secara efektif oleh dunia usaha. 

"Kalau SOP tidak ketat, maka dari mana pemerintah tahu bahwa kredit usaha yang diberikan benar-benar digunakan untuk memutar roda usaha dan bukan digunakan untuk menutup lubang-lubang utang perusahaan yang sudah ada sebelumnya?," tandas Eko. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×