Reporter: Dupla Kartini |
JAKARTA. Jamur termasuk bahan makanan yang digemari, baik di dalam maupun di luar negeri. Bukan tanpa alasan orang-orang menggemari jamur. Selain rasanya lezat seperti daging, jamur juga mengandung banyak gizi dan punya sederet khasiat.
Salah satu jamur yang banyak dikonsumsi adalah jamur kancing atau champignon. Jamur yang bernama latin Agaricus bisporus ini berwarna putih dengan tudung kecil berukuran tiga hingga lima sentimeter, dan tangkai maksimal enam cm.
Sayangnya, jamur ini masih sulit dibudidayakan, karena hanya bisa hidup di daerah bersuhu rendah berkisar 17 derajat - 20 derajat celcius. Di Indonesia, budidaya champignon terdapat di dataran Tinggi Dieng, Purwokerto, Probolinggo dan Pangalengan Bandung.
Champignon banyak dicari karena selain tekstur dan rasanya yang lezat, juga berkhasiat mengurangi resiko Penyumbatan pembuluh darah akibat kolesterol, juga sebagai bahan baku kosmetik. Pasarnya selain untuk konsumsi dalam negeri, juga untuk ekspor.
Salah satu pembudidaya champignon di Jawa Timur adalah PT Suryajaya Abadi Perkasa. Manajer Marketing Suryajaya, Tri Setyo Wahyudi menyebut permintaan jamur saat ini tetap tinggi dan stabil dari tahun ke tahun.
Saban hari, Tri menyebut bisa menghasilkan sekitar 1 ton - 3,5 ton champignon, atau berkisar 30 ton hingga 100 ton per bulan. Semua hasil panen ini selalu habis terjual, baik dalam bentuk segar, maupun yang diawetkan dengan air garam.
Champignon dijual seharga Rp 13.500 per kilogram dalam kondisi segar. Sedangkan, untuk jamur yang sudah diawetkan dalam kaleng atau plastik (pouch) dihargai Rp 12.000 per kilogram. Sehingga, omset bulanan dari jamur kancing ini saja berkisar Rp 400 juta. "Tapi, marginnya hanya 15% untuk penjualan di dalam negeri, sedangkan dari ekspor hanya 10%," sebut Tri.
Perusahaan yang sudah mulai budidaya jamur sejak 1994 ini membudidayakan champignon di lahan seluas 10 hektare, dengan media tanam dari campuran ampas tebu dan sekam. Dibutuhkan waktu sekitar 1 hingga 1,5 bulan sebelum jamur bisa dipanen.
Pemasaran champignon produksi Suryajaya saat ini sekitar 80% ke wilayah Jatim, Jateng, Bali, dan Kalimantan. Sedangkan, 20 persennya diekspor ke Belanda, Jepang, USA, dan Yunani.
Pemain lain yang menjadikan champignon sebagai ladang bisninya adalah Zeta Agrofarm. Pemiliknya, Imam Bastori menyebut dia tidak memproduksi sendiri, tapi mengambil dari Purwokerto dan Dieng.
Imam bilang permintaan jamur masih tetap stabil. Sejauh ini permintaan datang dari supermarket, pasar, dan restoran di wilayah Jabotabek. Tapi, ada juga eksportir yang memesan untuk dibawa ke Singapura.
Setiap bulan dia bisa menjual 3 hingga 4 ton jamur kancing seharga Rp 24.000 hingga Rp 38.000 per kilogram. Rata-rata saban bulan, dia bisa meraup omset Rp 70 juta - Rp 90 juta, dengan margin 20%.
Baik Tri maupun Imam mengamini kalau peluang bisnis jamur ini masih bagus. "Pemain di komoditas ini masih terbatas, sementara permintaan cukup besar," kata Tri.
Makanya, tri menyebut saat ini mereka berusaha meningkatkan kondisi penanaman, sehingga bisa menggenjot produksi sebab permintaan dinilai akan terus bertumbuh.
Sementara, Imam sejauh ini terkendala pengemasan, yang menahannya mengekspor langsung jamur kancing. "Kalau kondisi fresh dan tidak dikemas (diawetkan) hanya bisa tahan maksimal 1 minggu," sebut Imam.
Ke depan, supaya bisa terus bertahan meski bermunculan banyak pemain, Tri bilang mereka berusaha mengedepankan kualitas dan kontinuitas. Selain juga, meningkatkan promosi lewat internet maupun distributor.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News