Reporter: Adinda Ade Mustami, Choirun Nisa | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - Stimulus perekonomian nasional kembali datang dari eksternal. Global Competitiveness Index menyatakan peringkat daya saing Indonesia di level internasional meningkat. Namun begitu pemerintah harus tetap memperbaiki sejumlah hal, agar daya saing Indonesia tak kalah dengan Malaysia yang kini duduk di peringkat 23.
Laporan Global Competitiveness Index (GCI) 2017-2018 menempatkan Indonesia di posisi 35, naik enam peringkat dari tahun sebelumnya yang ada di peringkat 41. Posisi ini dorong perbaikan di semua pilar yang menjadi perhatian GCI.
Faktor utama adalah ukuran pasar yang besar, yakni berada di peringkat 9. Kemudian, kondisi makro ekonomi yang semakin kuat, di peringkat 26. Lalu, terkait inovasi dan kecanggihan bisnis masing-masing di peringkat 31 dan 32. "Dibanding negara berkembang lain, Indonesia merupakan salah satu inovator teratas," tulis GCI dalam laporannya.
Hanya saja, Indonesia masih tertinggal jauh dalam kesiapan teknologi, yakni di peringkat 80. GCI mengakui pemerintah terus membuat kemajuan dalam persiapan teknologi selama satu dekade terakhir, tapi hal itu masih kurang signifikan.
Masalah lain penghambat daya saing adalah efisiensi pasar yang duduk di peringkat 96. Hal ini karena banyaknya biaya-biaya tak perlu yang harus dikeluarkan pebisnis.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menilai perbaikan peringkat tersebut menunjukkan kepercayaan global terhadap Indonesia. Sebelumnya, Indonesia ditempatkan di peringkat 91, naik dari posisi sebelumnya di peringkat 106. "Jadi ini sangat sejalan dengan upaya reformasi struktural yang dijalankan pemerintah, Kementerian Keuangan sebagai otoritas fiskal, dan BI sebagai otoritas moneter," kata Agus di Hotel Intercontinental, Bandung, Rabu (27/9).
Meski demikian menurut Agus, sejumlah hal masih perlu diperbaiki Indonesia. Utamanya, memperkuat infrastruktur agar Indonesia betul-betul bisa bersaing dengan negara lain di dunia.
Pemerintah juga perlu memperkuat kedaulatan pangan hingga reformasi di sektor energi. "Ini bagian dari reformasi struktural oleh pemerintah. Jadi kami sambut baik kalau ada perbaikan indeks itu," tambah Agus.
Ekonom Institute for Development Economic and Finance (INDEF) Berly Martawardaya menganalisa, daya saing Indonesia masih kalah dengan negara tetangga karena anggaran untuk penelitian dan pengembangan atau riset masih minim.
Berdasarkan kajian INDEF, belanja riset Indonesia hanya sebesar 0,2% terhadap PDB selama dua tahun terakhir. Sementara negara lain di ASEAN seperti Singapura dan Thailand sudah diatas 2,5%.
Pemerintah juga perlu memberikan insentif fiskal bagi peneliti. Hal ini perlu untuk menarik peneliti dan lembaga untuk berlomba-lomba mendaftarkan patennya. Kebijakan ini sudah sukses diterapkan di negara lain seperti Jepang dan Korea.
"Insentif bisa berupa pemotongan pajak pada perusahaan yang inovatif baik melalui tax allowance, tax deduction on research expenditure dan tax holiday atau skema insentif non fiskal lain termasuk mempermudah prosedur dan biaya pendaftaran paten," kata Berly.
Insentif fiskal di sektor riset bukan hanya meningkatkan daya saing, tapi juga pertumbuhan ekonomi. Mengingat setiap 1% kenaikan jumlah paten, akan mendorong laju ekonomi 0,06%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News