Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak berencana memberlakukan aturan mandatory disclosure rules (MDR) dalam waktu dekat. Kewajiban melaporkan perencanaan pajak (tax planing) yang disiapkan wajib pajak ini merupakan strategi untuk mencegah penghindaran pajak. Aparat pajak mencurigai tax planing banyak dilakukan wajib pajak Indonesia.
MDR menjadi salah satu aksi dari Anti-Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang mewajibkan WP dan promotor atau pengatur strategi pajak untuk mengungkapkan skema atau model tax planning-nya. Alhasil, pelaksanaan tax planning perlu mendapatkan persetujuan Ditjen Pajak.
Namun rencana ini menimbulkan pro kontra di kalangan wajib pajak. Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Perpajakan Kadin Herman Juwono menilai, ketentuan MDR ini mau tidak mau harus berjalan. "Ini follow-up dari BEPS, harus diikuti," jelas Herman kepada KONTAN, Minggu (4/2).
Herman mengingatkan, yang perlu diperhatikan adalah momentum dan sejauh mana dampak social cost atas aturan ini. "Dari segi fiskus, permintaan ini normal, tapi sejauh mana persiapannya?" ujar Herman mempertanyakan kesiapan aparat pajak.
Ketua Bidang Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Prijo Handojo juga menilai, Indonesia belum saatnya menerapkan mandatory disclosure. Sebab penyelundupan pajak di Indonesia cenderung sederhana. "Modus penyelundupan pajak di Indonesia yaitu tidak melaporkan omzet sebenarnya. Ini dapat diatasi dengan jurus sederhana, yaitu administrasi yang baik," tandasnya.
Menurut Prijo, MDR ini terlalu canggih untuk Indonesia dan bisa mubazir dalam pelaksanaannya. Praktik penyelundupan pajak di Indonesia berbeda dengan di negara yang sudah menerapkan MDR. Inggris, Irlandia, Korea Selatan, dan Afrika Selatan adalah contoh yang menerapkan MDR. "Kita memang suka meniru negara maju. Padahal Indonesia masih negara berkembang, akhirnya peraturan baru tidak banyak hasilnya," terang Prijo.
Dia menyebutkan, pengertian aggressive tax planning juga belum jelas. Selain luas, menurutnya, pengertian tax planning yang agresif masih subyektif. Oleh karena itu dia khawatir penerapan mandatory disclosure hanya akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang baru. Padahal pengusaha mengharapkan adanya kepastian hukum dari Dirjen Pajak baru.
Membikin gaduh
Ajib Hamdani, Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Tax Center sependapat dengan Prijo. Dia berharap pemerintah mengkaji ulang strategi MDR. Pasalnya, di Indonesia belum ada aturan tersebut. "Baik dalam UU Pajak maupun Hukum Perdata, tidak ada aturan yang melarang wajib pajak untuk melakukan suatu transaksi dengan skemanya masing-masing," jelas Ajib.
Penerapan MDR juga bertentangan dengan asas pemungutan pajak di Indonesia yang berbasis self assessment. "Pemerintah harus cermat dalam melempar isu, jangan hanya membuat gaduh. Masih banyak langkah nyata Ditjen Pajak untuk menambah penerimaan pajak," terang Ajib.
Sedangkan pengamat perpajakan Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menyarankan, pemerintah membuat kriteria jelas yang membedakan antara tax planning agresif dengan yang low. Kriteria tax planing di negara tax haven juga harus dibedakan agar memenuhi unsur keadilan dengan negara dengan aturan pajak bagus.
Lalu, pelaporan MDR harus cepatnya. "Jangan berlaku seperti pelaporan surat pemberitahuan (SPT) Pajak yang setahun sekali," katanya.
Akses data transaksi kartu kredit tidak optimal
PERATURAN Menteri Keuangan (PMK) Nomor 228/PMK.03/2017 yang meminta perbankan untuk melaporkan data-data transaksi kartu kredit ke Ditjen Pajak dinilai tidak akan berjalan dengan optimal. Perkiraan itu didasarkan pada batas pelaporan yang hanya berlaku bagi kartu kredit dengan tagihan minimal Rp 1 miliar per tahun. Batasan nilai itu dianggap terlalu besar, sehingga tidak efektif bagi sistem perpajakan Indonesia.
Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Perpajakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Herman Juwono menyebut, seharusnya angka minimum diperkecil agar efektif. "Rp 200 juta cukup untuk memberi informasi bahwa orang itu pajaknya bagaimana," kata Herman, Minggu (4/2).
Menurutnya, Ditjen Pajak memang perlu mengumpulkan data transaksi kartu kredit. Sebab ini, menurutnya, akan membantu mengecek kepatuhan wajib pajak. Ini juga akan membantu Ditjen Pajak mengejar target penerimaan pajak tahun 2018 yang tumbuh 24% dari 2017. "Fiskus tergencet target," kata Herman.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo juga menilai, dengan batasan transaksi kartu kredit Rp 1 miliar, Ditjen Pajak tidak bisa menjaring banyak data. "Ini tidak relevan bagi perpajakan," jelas Yustinus. Dengan tagihan Rp 1 miliar per tahun, Ditjen Pajak hanya akan mendapatkan transaksi dari nasabah yang berbelanja setiap bulan minimal Rp 83,33 juta. Umumnya hanya korporasi yang memiliki tagihan sebesar itu. Padahal, pajak korporasi sudah jelas perhitungannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News