kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sejumlah perjanjian dagang bilateral akan direvisi


Rabu, 11 Juli 2018 / 07:33 WIB
Sejumlah perjanjian dagang bilateral akan direvisi


Reporter: Abdul Basith, Adinda Ade Mustami | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Indonesia akan melakukan revisi sejumlah perjanjian dagang bilateral dengan negara mitra. Evaluasi perjanjian dagang bilateral dilakukan untuk menyikapi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, yang juga merembet ke negara lain seperti Indonesia.

Dengan langkah itu, pemerintah berharap bisa semakin maksimal memperoleh keuntungan dari perjanjian dagang, seperti keringanan tarif bea masuk. Apalagi saat ini, Presiden AS Donald Trump sedang mempersoalkan hubungan bilateral antara negaranya dengan negara lainnya.

Misalnya, hubungan bilateral antara AS dengan Eropa atau AS dengan Kanada. Makanya, pemerintah ingin memperkuat komitmen Indonesia dengan negara lain dan melakukan penyesuaian-penyesuaian agar menguntungkan kedua negara. Caranya, melalui revisi perjanjian dagang.

"Indonesia sedang dalam proses melakukan kajian dan revisi bilateral agreement. Umpamanya, kita dengan Australia," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Selasa (10/7).

Menurutnya, Presiden Joko Widodo juga telah meminta menteri-menterinya segera menyelesaikan perjanjian bilateral. Dengan begitu, Indonesia bisa memiliki landasan perdagangan, perpajakan, hingga investasi yang bisa menguntungkan kedua negara yang terikat perjanjian.

Direktur Jenderal (Dirjen) Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemdag) Oke Nurwan menyatakan, Indonesia harus bisa memanfaatkan peluang dari perang dagang AS-China. Peluang yang dimaksud, adalah potensi hilangnya pasokan dari AS ke China. Caranya dengan memanfaatkan potensi perjanjian ASEAN-China.

Namun Oke mengingatkan, perang dagang juga mengakibatkan peralihan barang. Barang ekspor yang sebelumnya masuk ke China dari AS akan dialihkan ke negara lain termasuk Indonesia. Makanya, "Kita harus antisipastif, bahwa kalau memang harus masuk ya barang yang memang kita butuhkan," tambahnya.

AS merupakan negara terbesar kedua tujuan ekspor setelah China. Kontribusi ekspor AS mencapai 10,91% dari total ekspor non migas. Dalam lima bulan pertama tahun ini, ekspor Indonesia ke AS mencapai US$ 7,43 miliar, naik 3,53% dibandingkan periode sama tahun lalu.

Nilai ekspor ke AS bisa tergerus seiring dengan kabar bahwa AS tengah mengevaluasi sekitar 124 produk ekspor asal Indonesia, termasuk tekstil, plywood, kapas, dan beberapa hasil perikanan seperti udang dan kepiting.

Evaluasi dilakukan guna menentukan produk apa saja yang masih layak menerima generalized system of preferences (GSP). Jika GSP AS untuk Indonesia dihilangkan maka biaya ekspor Indonesia ke AS menjadi lebih mahal.

Oke bilang, Indonesia akan menemui Pemerintah AS untuk membahas evaluasi GSP. Menurutnya, evaluasi GSP sebenarnya dilakukan rutin tiap tahun. "Tanggal 17 Juli kita bertemu untuk menyampaikan kita masih layak dinyatakan sebagai negara yang eligible menerima GSP," ujar Oke.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet Managing Customer Expectations and Dealing with Complaints

[X]
×