Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekspansi bisnis industri manufaktur melemah di akhir kuartal I tahun ini. Pelemahan tersebut tergambar dari turunnya indeks pembelian manager atau Purchasing Managers' Index (PMI) Indonesia pada Maret 2018.
Dalam surveinya, Nikkei dan IHS Markit mencatat Purchasing Managers' Index (PMI) Indonesia pada Maret 2018 di level 50,7. Angka itu lebih rendah dibandingkan Februari 2018 yang 51,4. Asal tahu saja, nilai PMI di atas 50 berarti industri ekspansi. Semakin besar nilainya, ekspansi semakin kencang.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W Kamdani mengatakan, PMI yang rendah disebabkan karena pengusaha mewaspadai ketidakpastian baru. Isu perang dagang Amerika Serikat (AS)-China yang bergulir sejak Februari lalu meningkatkan ketidakpastian ekonomi global.
Hal itu menjadikan permintaan di pasar dunia berkurang. "Produksi direm. Makanya data ekspor impor terakhir menunjukkan penurunan," jelas Shinta, Selasa (3/4).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor Indonesia pada Februari 2018 sebesar US$ 14,09 miliar, turun tipis dari sebulan sebelumnya US$ 14,55 miliar. Impor pun turun dari US$ 15,31 miliar menjadi US$ 14,21 miliar.
Impor bahan baku/penolong menyusut dari US$ 11,47 miliar menjadi US$ 10,58 miliar. Impor bahan baku dan penolong biasanya dipakai untuk kebutuhan industri manufaktur dalam negeri.
Shinta mengklaim, turunnya PMI tidak hanya dialami Indonesia, tapi juga negara-negara lainnya seperti Eropa, China, India, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Thailand, Vietnam . "Penurunan PMI merupakan fenomena global, bukan hanya Indonesia," terang Shinta.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat Usman menambahkah, isu perang dagang AS-China meningkatkan ketidakpastian perdagangan. "Itulah sebabnya walaupun menjelang Lebaran, (produksi) turun signifikan. Pasar tidak mampu menyerap karena banyak ketidakpastian yang menghantui retailer," papar Ade
Apa yang dikatakan Ade dan Shinta sepertinya bisa menjawab mengapa di tengah tanda-tanda membaiknya daya beli konsumen, industri manufaktur kurang bergairah. Berbaikan data beli terlihat dari inflasi inti tahunan yang naik pada Maret 2018 menjadi sebesar 2,67% dibandingkan Februari yang sebesar 2,58%.
Konsumsi diperkirakan juga akan naik seiiring dengan dudah dekatnya Ramadan yang jatuh pada Mei 2018. Biasanya pada periode itu permintaan konsumen meningkat dan mencapai puncaknya pada perayaan Lebaran. Dengan tanda-tanda itu seharusnyaa industri bersiap-siap.
Ketidakpastian pajak
Selain ketidakpastian akibat perang dagang, aturan pajak dalam negeri juga menjadi masalah. Salah satunya terkait tidak diperkenankannya penggunaan e-faktur tanpa nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan nomor induk kependudukan (NIK).
Kebijakan itu rencananya berlaku pada 1 April 2018, namun dibatalkan awal pekan ini. Alasannya, baik Pengusaha Kena Pajak (PKP) maupun infrastruktur di Ditjen Pajak belum siap. "Pembatalan ini tentu membuat suasana yang berbeda, tetapi sektor ritel belum pulih dari kepanikan," tandas Ade.
Menurut Ade, pulihnya sektor ritel dari ketidakpastian ini tidak akan terjadi dalam waktu yang lama. Ia optimistis, pemulihan bisa terjadi pada bulan ini seiring permintaan yang terlihat pulih. "Mungkin akan pulih pada bulan ini ke arah yang lebih baik lagi," jelas Ade.
Pengamat ekonomi dan Kepala Policy Center ILUNI Universitas Indonesia Berly Martawardaya bilang, penurunan PMI akibat keraguan dunia usaha. "Pengusaha ragu, kalau bikin banyak takut tidak laku," jelas Berly. Namun menurutnya, dunia usaha sudah siap-siap dengan demand yang naik menjelang Lebaran.
Apalagi diperkirakan tren kenaikan inflasi inti pada tahun ini akan terus terjadi seiring perbaikan daya beli masyarakat. Selain itu harga komoditas dunia yang sedang naik membuat para produsen punya lebih banyak uang. "Ada tendensi seperti itu. Ini pertanda bagus," kata Berly.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News