kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kenaikan harga minyak dunia lebih banyak negatifnya untuk APBN


Jumat, 12 Januari 2018 / 19:22 WIB
Kenaikan harga minyak dunia lebih banyak negatifnya untuk APBN
ILUSTRASI. Harga minyak


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak dunia terus melonjak. Harga minyak Brent bahkan sempat menembus level US$ 70 per barel untuk kali pertama dalam tiga tahun terakhir.

Hal ini disebabkan oleh pemangkasan produksi oleh OPEC dan meningkatnya permintaan menyebabkan surplus pasokan minyak global kian menipis.

Kenaikan harga minyak ini akan mempengaruhi kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dampaknya dua sisi, yakni positif dan negatif.

Sisi positifnya, naiknya harga minyak akan meningkatkan ekspor migas yang ujungnya berkontribusi pada penerimaan negara dari migas. Hingga akhir 2017 realisasi penerimaan PPh migas tercatat 120,4% terhadap target APBNP atau tumbuh cukup signifikan yakni 39,4% dibanding realisasi tahun 2016.

Sementara PNBP realisasinya menembus 118,5% dari target, “Kalau tren harga minyak naik terus berlanjut bahkan diprediksi tembus US$ 80 per barel untuk ICP maka target penerimaan dari migas akan tercapai di 2018,” kata  Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara kepada KONTAN, Jumat (12/1).

Mengutip dokumen Nota Keuangan 2018, dampak kenaikan harga minyak sebesar US$ 1 per barel terhadap APBN 2018 menyebabkan kenaikan pada penerimaan negara sebesar Rp 3,4 sampai Rp 3,9 triliun.

Sementara, untuk belanja negaranya bisa bertambah Rp 2,4 triliun sampai Rp 3,7 triliun. Surplus anggaran yang bisa terjadi setiap kenaikan harga minyak ini adalah Rp 0,3 triliun sampai Rp 1 triliun

Dengan asumsi surplus ini, apabila harga minyak stabil di US$ 70/barel, pemerintah bisa memperoleh kelebihan anggaran sampai Rp 22 triliun.

Namun demikian, Bhima mengatakan bahwa sisi negatifnya lebih besar. Sebab, sebagai negara net importir minyak, makin tinggi harga minyak dunia makin besar impor migas Indonesia. Kondisi ini membuat beban subsidi energi makin berat sementara asumsi ICP pemerintah cuma US$ 48 per barel.

“Jika realisasi belanja subsidi energi membengkak otomatis defisit anggaran bisa melebar. Opsi untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi dan tarif listrik juga tidak populis di tahun politik,” ucapnya.

Penyesuaian harga BBM juga akan berimplikasi pada tingginya inflasi yang menghajar daya beli kelas bawah. Kenaikan Rp 500 per liter akan langsung dipolitisasi oleh lawan politik pemerintah sehingga elektabilitas bisa turun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×