kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Indeks Keselamatan Wartawan 2023: 45% Jurnalis Pernah Mengalami Tindak Kekerasan


Kamis, 28 Maret 2024 / 20:59 WIB
Indeks Keselamatan Wartawan 2023: 45% Jurnalis Pernah Mengalami Tindak Kekerasan
ILUSTRASI. Wartawan yang tergabung dalam Forum Jurnalis se-Surabaya membentangkan poster ketika aksi solidaritas jurnalis di Surabaya, Jawa Timur, Senin (29/3/2021). ANTARA FOTO/Zabur Karuru/aww.


Reporter: Ahmad Febrian | Editor: Ahmad Febrian

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Miris. Keselamatan wartaran Indonesia masih belum sepenuhnya terjamin. Ancaman terhadap keselamatan jurnalis itu terutama datang dari negara dan organisasi masyarakat (ormas). Temuan ini didapat melalui pengukuran Indeks Keselamatan Jurnalis oleh Yayasan Tifa sebagai bagian dari Konsorsium Jurnalisme Aman bersama PPMN dan HRWG berkolaborasi dengan Populix dan didukung Kedutaan Belanda.

Indeks Keselamatan Jurnalis 2023 berada pada skor 59,8 dari 100 atau masuk dalam kategori Agak Terlindungi.  Skor ini di antaranya berasal dari angka kekerasan yang dialami jurnalis, baik yang dihimpun melalui survei maupun dari kasus yang ditangani oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sepanjang 2023.  Melalui survei terhadap 536 responden, sebanyak 45% responden mengaku pernah mengalami kekerasan.  Sedangkan data AJI menunjukkan, angka kekerasan terhadap jurnalis mencapai 87 kasus atau naik 16 kasus dari tahun sebelumnya. 

Bentuk kekerasan paling banyak berupa pelarangan liputan (45%), pelarangan pemberitaan (44%) dan teror dan intimidasi (39%).  Survei juga mencatat, satu orang jurnalis dapat mengalami beragam bentuk kekerasan dan jurnalis perempuan lebih rentan.    

Ancaman terhadap keselamatan jurnalis ini datang dari berbagai pihak. Saat ditanyakan mengenai potensi ancaman keselamatan, jurnalis menyebut mulai dari ormas (29%), negara melalui polisi (26%) dan pejabat pemerintah (22%), aktor politik (14%)  hingga perusahan media itu sendiri (7%). Sisanya, 4%, menyebut aktor lain.    

Direktur Eksekutif Yayasan Tifa, Oslan Purba mengatakan, indeks ini untuk memetakan permasalahan yang dihadapi oleh jurnalis, memberikan data yang relevan untuk mencegah kekerasan, serta meningkatkan kondisi kerja dan profesionalisme jurnalistik di Indonesia. “Pengukuran ini diupayakan agar bisa secara regular dan diharapkan bisa menjadi salah satu alat monitoring serta menemukan faktor-faktor masalah keselamatan jurnalis, sehingga menjadi bahan advokasi untuk mewujudkan jurnalisme aman di Indonesia,” jelas Oslan, dalam keterangannya, Kamis (28/3).

Indeks Keselamatan Jurnalis 2023 diukur melalui metode survei kepada jurnalis dan dipadukan dengan data aktual kasus kekerasan terhadap jurnalis yang ditangani AJI. Gambaran kondisi keselamatan jurnalis dalam menjalankan profesi ini disusun berdasarkan tiga pilar utama yang mencakup individu jurnalis, pilar stakeholder media, dan pilar negara dan regulasi.  

Baca Juga: UU ITE Disebut Masih Pertahankan Pasal Karet dan Ciptakan Pasal Berpolemik

Pilar individu jurnalis dibangun dari dua variabel yakni pengalaman kekerasan yang dialami jurnalis dan pengetahuan jurnalis akan perlindungan dari kekerasan. Sedangkan pilar stakeholder media, menggali pengalaman dan pandangan jurnalis terhadap peran perusahaan media, organisasi masyarakat sipil seperti organisasi jurnalis dan lembaga bantuan hukum serta peran lembaga negara seperti Dewan Pers dan Komnas Hak Asasi Manusia (HAM). Sementara pilar negara dan regulasi didapat dengan menggali pengalaman dan persepsi jurnalis terhadap peran negara dan penegak hukum serta regulasi. 

Manajer Riset Populix, Nazmi Haddyat Tamara mengatakan, di antara ketiga pilar ini, pilar individu mendapat skor terendah (36,08), diikuti pilar negara dan regulasi (64,36) dan pilar stakeholder media (74,36). “Pilar individu mendapat skor rendah, didorong oleh kasus kekerasan yang masih tinggi, termasuk mengenai adanya penyensoran. Di sisi lain, umumnya jurnalis mengakui bila pekerjaannya berisiko,” jelas Nazmi.

Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin mengungkapkan, ada tiga tantangan besar yang dihadapi jurnalis ketika mengalami tindakan kekerasan. Salah satunya adalah keengganan melaporkan tindakan kekerasan itu kepada pihak berwajib.

“Alasan keengganan melaporkan tindak kekerasan ini karena melihat kasus yang sebelumnya dilaporkan, tidak ada kemajuan di kepolisian. Tantangan kedua adalah aparat penegak hukum yang lambat dalam menuntaskan kasus kekerasan yang dialami jurnalis. Tantangan ketiga adalah perusahaan media yang kadang di tengah jalan menarik laporan tersebut dari pihak berwajib dengan berbagai alasan,” jelas Ade.

Direktur KBR Media, Citra Prastuti mengakui tidak semua perusahaan media punya sumber daya untuk melakukan pelatihan keselamatan untuk jurnalis. Karena itu, biasanya pelatihan keselamatan terhadap jurnalis dilakukan oleh pihak eksternal. “Kami biasanya menerapkan sistem ToT terkait pelatihan keselamatan untuk jurnalis. Ini karena perusahaan belum mampu melakukan sendiri. Namun, keselamatan jurnalis merupakan sesuatu yang penting,” ungkap Citra.

Selain potensi ancaman dari negara lewat aparaturnya, skor pilar negara dan regulasi dibentuk oleh penilaian atas potensi ancaman atas sejumlah regulasi oleh jurnalis. Umumnya jurnalis menilai, UU seperti UU Perlindungan Data Pribadi (PDP), UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan UU KUHP dapat mengancam keselamatan mereka saat bekerja. 

Koordinator Sub Komisi Penegakan HAM Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing mengungkapkan, ada kesenjangan pengetahuan dari sejumlah stakeholder terkait hak kebebasan berpendapat dan berekspresi. Ini yang membuat banyak kasus kekerasan dan juga pencemaran nama baik yang dialami jurnalis.

“Sejak 2018-2024, ada tujuh kasus kekerasan yang dilaporkan ke Komnas HAM. Lima kasus kekerasan verbal dan dua kasus penyiksaan. Untuk kasus pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE ada lima kasus. Komnas HAM sudah membuat panduan bahwa jurnalis adalah bagian dari pembela HAM dan ini sudah disampaikan kepada stakeholder,” jelas Uli. Komnas HAM juga selalu berkoordinasi dengan Dewan Pers apabila menerima laporan terkait pencemaran nama baik yang dilakukan oleh jurnalis.

Direktur Pengelolaan Media Kementeriam Komunikasi dan Informatika, Nursodik Gunarjo mengatakan, indeks ini akan menjadi early warning system ketika keselamatan jurnalis turun bisa dipantau oleh banyak orang. Tapi yang penting setelah adanya indeks ini adalah apa yang harus dilakukan agar keselamatan jurnalis bisa tetap dijaga. "Kami ingin tidak ada lagi kekerasan terhadap jurnalis. Mungkin salah satu yang bisa dilakukan adalah regulasi. Tapi regulasi itu seperti mata uang, ketika kebebasan pers guaranteed by the law, di saat yang sama ada juga yang merasa limited by the law,” jelas Nursodik.

Menurutnya, pemerintah tidak akan mengatur pers karena sudah ada UU terkait kebebasan pers. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah kalangan pers mengajukan kepada pemerintah untuk membuat UU yang bisa mengatur keselamatan jurnalis, seperti UU Publisher RIght yang baru saja disahkan pemerintah.

Ketua AJI Indonesia, Sasmito Madrid berharap, untuk menjamin keselamatan jurnalis, perlu segera dibuat rencana aksi nasional. Langkah ini dalam rangka mewujudkan keselamatan jurnalis. Jurnalis yang terangkum dalam survei ini sebanyak 536 orang yang tersebar di seluruh Indonesia serta mewakili jurnalis dari beragam jenis media.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×