kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

DPR kaji tiga opsi RUU pemilu


Kamis, 30 Maret 2017 / 14:49 WIB
DPR kaji tiga opsi RUU pemilu


Reporter: Ramadhani Prihatini | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Keterwakilan perempuan dalam politik menjadi salah satu isu krusial yang sedang dibahas anggota Pansus RUU Pemilu. Sejak pembahasan RUU, Pansus sudah mengundang kelompok aktivis perempuan untuk mendapat masukan-masukan upaya meningkatkan keterwakilan perempuan.

Saat ini, keterwakilan perempuan di DPR periode 2014-2019 sebesar 18%. Dalam UU Pemilu, pencalegan diatur agar memperhatikan 30% keterwakilan perempuan.

“Dalam pembahasan yang dilakukan pansus, muncul tiga opsi untuk meningkatkan keterwakilan di DPR,” ujar Anggota Pansus Hetifah Sjaifudian dalam keterangan persnya, Kamis (30/3) di Jakarta.

Opsi pertama ialah keterwakilan perempuan diatur seperti Undang-Undangsebelumnya, yaitu memperhatikan 30% keterwakilan perempuan dalam pencalegan.

Sementara, opsi kedua yaitu meningkatkan keterwakilan perempuan dengan menggunakan sistem zipper murni, yaitu pencalegan 50% laki-laki dan 50% perempuan dengan nomor urut “selang-seling”. Misalnya, nomer urut 1 laki-laki, nomer urut 2 perempuan dan seterusnya.

Opsi ketiga, meningkatkan keterwakilan perempuan dengan menempatkan caleg perempuan nomer urut 1 di 30% dapil. Maksud dari 30% dapil tersebut adalah dapil yang parpolnya mendapat kursi pada Pemilu sebelumnya.

“Kami mendukung keterwakilan perempuan dengan menempatkan perempuan di nomor urut 1 di 30% dapil, serta penerapan zipper murni dalam pencalegan,” ujar Politisi dari Fraksi Golkar itu.

Terpisah, Anggota Pansus Johnny G. Plate mengatakan sebaiknya afirmasi keterwakilan perempuan 30% tidak perlu dimasukkan ke dalam hukum positif. Ia menyarankan, agar keterwakilan perempuan terakomodir maka harus ditetapkan dalam keputusan partai politik, sehingga setiap parpol bisa melaksanakan hal itu.

“Secara prinsip, kami tidak tolak tapi undang-undang harus ada konsekuensinya, pada saat dia masuk ke hukum positif  maka dia imperatif. Kalau imperatif bentuknya, maka harus ada sanksi pelanggaran. Nah, kami sudah lakukan itu tanpa ada imperatif, namun kesadaran,” jelas politisi dari Fraksi Nasdem ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×