kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Belanja pemerintah pusat hanya sumbang 10% penerimaan negara


Senin, 12 Februari 2018 / 18:40 WIB
Belanja pemerintah pusat hanya sumbang 10% penerimaan negara
ILUSTRASI. Deretan Gedung Perkantoran Terlihat dari Ketinggian


Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Belanja pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu sumber penerimaan negara. Penerimaan negara yang dimaksud mencakup penerimaan perpajakan maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Meski menjadi sumber penerimaan yang bisa dikontrol oleh pemerintah, sumbangannya terhadap total penerimaan negara masih minim. Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Yon Arsal mengatakan, penerimaan pajak yang didapat dari belanja pemerintah pusat dalam APBN-P 2017 hanya mencapai 8%-10% saja terhadap total penerimaan negara.

"Angka itu termasuk yang dipotong dan dipungut, yaitu PPh (pajak penghasilan) dan PPN (pajak pertambahan nilai)," kata Yon saat ditemui di DPR, Senin (12/2).

Dari sisi belanja pemerintah, angka penerimaan itu mendekati potensi sebenarnya. Sebab, pemotongan PPh dilakukan di awal. Demikian juga dengan PPN yang dipungut atas nama rekanan pemerintah, misalnya para pemenang lelang proyek-proyek pemerintah.

Namun menurutnya, sumber penerimaan negara dari belanja pemerintah daerah yang masih menjadi persoalan. Sebab, berbeda dengan pemerintah pusat, penerimaan negara dari transaksi belanja pemerintah daerah justru disetorkan sendiri ke bendaharawan.

"Bendaharawannya juga sering berganti. Maka ada yang tahunya kurang pas setorannya. Apalagi ini banyak," tambah dia. Pemerintah pusat sendiri lanjutnya, terus melakukan edukasi terhadap pemerintah daerah dan bendaharawan mengenai hal ini.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya juga mempersoalkan rendahnya penerimaan negara dari belanja pemerintah. Di tahun 2015 APBN hanya menghasilkan penerimaan pajak Rp 84 triliun saja. Sementara di tahun 2016, APBN hanya menghasilkan penerimaan pajak Rp 86 triliun saja.

Padahal. jumlah belanja negara dan daerah setiap tahunnya selalu meningkat. "Kalau dilihat, angka itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan total penerimaan. Secara persentase, dia hanya 7,9% di tahun 2015 dari penerimaan. Bahkan turun jadi 7,8% di tahun 2016," kata Sri Mulyani September 2017 lalu.

Padahal lanjut Sri Mulyani, penerimaan pajak dari APBN dan APBD seharusnya bisa diukur dan diproyeksi. Pengukuran yang dimaksud, yaitu dari belanja negara yang lebih dari Rp 2.133 triliun dalam APBN-P 2017, seharusnya bisa dihitung potensi penerimaan pajak penghasilan (PPh) anggaran gaji pegawai yang dipotong PPh Pasal 21.

Kemudian, bisa juga mengukur potensi penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) 10% yang didapat dari transkasi belanja yang menghasilkan pajak masukan dan pajak keluaran. Selain itu bisa juga mengukur potensi penerimaan PPh Pasal 21 dan Pasal 23 dari belanja barang dan belanja modal K/L.

"Sekarang saya minta untuk dihitung jumlahnya, pasti jauh lebih besar dari Rp 86 triliun atau Rp 87 triliun yang dikumpulkan selama ini. Ini menunjukkan bahwa potensi yang bisa dikontrol itu tidak bisa didapatkan secara optimal," tambahnya.

Persoalan utamanya lanjut dia, peranan bendaharawan. Sri Mulyani mengatakan, bendaharawan ada yang tidak paham, ada yang tidak memahami aturan-aturan, bahkan tidak memahami transaksi keuangan padahal memiliki kewajiban untuk melakukan pemotongan pajaknya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×