kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   -13.000   -0,85%
  • USD/IDR 16.200   -20,00   -0,12%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

WP nakal, Indonesia bisa terapkan pajak teritorial


Kamis, 03 Agustus 2017 / 18:26 WIB
WP nakal, Indonesia bisa terapkan pajak teritorial


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Kepatuhan membayar pajak di Indonesia saat ini masih memprihatinkan. Rasio pajak (tax ratio) Indonesia sendiri masih pada posisi 10,3% dari produk domestik bruto (PDB). Dibandingkan dengan negara lainnya seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam.

Hal ini terjadi lantaran wajib pajak Indonesia masih banyak yang melakukan penghindaran pajak ke negara lainnya. Dengan demikian, Indonesia pun akan ikut serta dalam Automatic Exchange of Information (AEoI) guna menggali data wajib pajak dalam negeri yang ada di luar negeri.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, dengan adanya AEoI, seharusnya pemerintah mulai memikirkan untuk mengubah sistem perpajakan dari yang semula source income menjadi territorial income.

Skema ini adalah seperti yang dilakukan oleh Singapura di mana hanya memajaki apa yang diperoleh di Singapura, siapa pun orangnya.

“Di Singapura, mau orang China, Jepang, Thailand, asal mereka generate penghasilan di Singapura, bayar di Singapura. Makanya orang lebih seneng bikin head quarter di sana karena tarif pajak dalam negerinya rendah dan dividen tidak dipajaki,”  ujarnya usai diskusi pajak “Taxing times” di Hotel Shangri-La di Jakarta, Kamis (3/8).

Nah, Indonesia dengan skema source income, mengincar wajib pajak Indonesia yang dapat penghasilan dari mana pun untuk bayar pajak ke Indonesia, “Maka orang yang dapat (penghasilan) dari luar nipu-nipu kan. Tidak dibawa pulang karena takut dipajaki. Lalu dibikin Control Foreign Company (CFC) rule salah satunya,” jelasnya.

Menurut Yustinus, sistem pajak source income sifatnya lebih rumit lantaran negara harus berupaya menangkap wajib pajak yang kucing-kucingan. Dengan demikian, akan lebih baik untuk menerapkan sistem territorial income.

“Jadinya, kalau Anda di sini tidak punya income tetapi punya di Singapura, tidak apa-apa tidak dipajaki, tapi negara bisa pajaki siapa pun yang generate di sini,” katanya.

Ia melanjutkan, dalam kurun waktu 10 tahun, dari 22 negara yang menggunakan sistem source income seperti Indonesia di dalam OECD, jumlahnya turun menjadi tinggal enam negara. Artinya, sistem ini sudah tidak lagi diminati.

Namun demikian, Yustinus mengatakan bahwa sistem ini juga memiliki kelemahan, khususnya bagi wajib pajak Indonesia yang memiliki kemampuan untuk menyimpan penghasilan di luar negeri akan berisiko memindahkan semua penghasilannya sehingga negara tidak memperoleh pajaknya.

“Tetapi sekarang sudah ada AEoI, harusnya sudah berani kita. Indonesia juga jadi kompetitif. Kalau PDB tinggi, pajak tinggi. Sekarang PDB tinggi tidak sebanding dengan pajak karena pajaknya di luar negeri,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×