Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Markus Sumartomjon
JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemkeu) telah memperbaiki peraturan perpajakan controlled foreign companies (CFC) untuk menangani penghindaran pajak antar negara dengan mengeluarkan PMK Nomor 107 tahun 2017.
Adanya PMK baru ini mencabut PMK 256 Tahun 2008 yang mengatur hal yang sama. Bila pada PMK sebelumnya hanya mengatur soal kepemilikan langsung, sementara kepemilikan tidak langsung tidak dijelaskan terkait hal tersebut.
Aturan yang baru ini ada penjelasan soal pengkreditan pajak dan jika ada selisih antara PPh atas dividen yang dibayar dengan penghitungan deemed dividend.
Pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengatakan, kehadiran CFC Rules yang kuat diperlukan Indonesia yang menerapakan prinsip worldwide income, yaitu subjek pajak dalam negeri dikenakan pajak dari penghasilan yang bersumber dari dalam dan luar negeri.
“PMK yang baru jauh lebih baik dan di saat bersamaan tidak melampaui apa yang telah diatur dalam UU," ujarnya kepada KONTAN, Rabu (2/8).
Menurut Bawono, skema pengalihan laba melalui CFC pada umumnya berupaya menghindari pengenaan pajak atas distribusi penghasilan (dividen) dari perusahaan anak di luar Indonesia ke perusahaan induk yang berkedudukan di Indonesia.
“Caranya, dengan mendirikan suatu perusahaan anak yang dikendalikan oleh pemegang saham di Indonesia (CFC) dengan tujuan menahan penghasilan berupa dividen di perusahaan anak tersebut (di luar Indonesia),” katanya.
Menurut Bawono, perubahan penting dari ketentuan baru ini terletak pada ruang lingkup pengenaan deemed dividend atau dividen yang ditetapkan diperoleh atas penyertaan modal pada badan usaha luar negeri. Yaitu diterapkan ke badan usaha luar negeri non-bursa yang dikendalikan secara tidak langsung.
“Hal ini jelas sesuatu yang positif, karena dewasa ini praktik penghindaran pajak tidak hanya dilakukan pada satu layer kepemilikan saja namun juga melalui pengendalian bertingkat,” ujarnya.
Menurut Bawono, efektivitas aturan ini terbantu dengan adanya semangat transparansi dan kerangka kerjasama pertukaran informasi yang dilakukan oleh otoritas pajak Indonesia. “Apalagi, kini Indonesia telah memiliki ketentuan mengenai format baru dokumentasi transfer pricing,” tambahnya.
Direktur Eksekutif Center of Indonesian Tax Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menuturkan, bila dilihat efektivitasnya untuk menambah penerimaan atau anti-avoidance, aturan ini belum efektif karena berbagai keterbatasannya. Pasalnya, aturan baru lebih mengatur beberapa hal jadi rinci dan menciptakan kepastian, tetapi secara substansi tidak banyak berbeda. Misalnya nilai penyertaan yang masih 50%. Sementara di negara lain, besarnya penyertaan modal paling rendah 10%.
“Tetapi sebagai sinyal atau awal dimulainya adaptasi regulasi anti avoidance, ini positif,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News