Reporter: Amal Ihsan Hadian, Dikky Setiawan, Umar Idris, Herry Prasetyo, Arif Wicaksono | Editor: Imanuel Alexander
Sektor pertambangan di daerah selalu bertumpuk masalah. Dan, “kekuasaan” baru pemda menentukan wilayah pertambangan bisa membuat masalah makin runyam. Tak heran, pelaku usaha cemas. Sikap pusat?
Hari masih gelap ketika puluhan orang berderap di lembah Gunung Botak, Pulau Buru, Provinsi Maluku. Mereka membawa parang, golok, dan kayu. Langkah mereka membangunkan orang-orang yang sedang tidur di dalam tenda-tenda terpal di pinggir sungai. Bentrok massa pun tak terhindarkan. Hasilnya, dini hari itu, dua orang tewas dan belasan lain luka-luka.
Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Boy Rafli Amar, bentrok yang pecah Ahad (18/11) pekan lalu itu adalah konflik sesama penambang liar. Dua kelompok massa itu bertikai memperebutkan wilayah penambangan emas di Gunung Botak.
Dengan kandungan emasnya, Gunung Botak memang menjadi tempat yang rawan konflik. Ketua Asosiasi Pertambangan Emas Rakyat Indonesia (Aspiri) Andi Ridwan mengatakan, Gunung Botak memang mengandung banyak emas.
Konflik masyarakat di Gunung Botak sesungguhnya sudah jamak terjadi di daerah lain. Mulai dari izin usaha pertambangan (IUP) yang tidak kunjung keluar hingga terjadi penambangan ilegal, sampai IUP yang batas wilayah kerjanya tumpang tindih. Ujungnya, bukan cuma sengketa legal yang terjadi, tapi juga konflik antara warga dan perusahaan serta bentrokan horizontal yang memakan korban jiwa.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat, ada 22 wilayah yang menjadi daerah rawan konflik pertambangan antara masyarakat dan perusahaan. Itu belum menghitung konflik horizontal antarkelompok masyarakat.
Sedang data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, ada sekitar 1.900 izin pertambangan yang tumpang tindih di seluruh Indonesia. Thamrin Sihite, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, menjelaskan, banyaknya IUP yang tumpang tindih ini karena beberapa sebab. Misalnya, pemekaran wilayah, izin ganda karena bergantinya kepala darah, sampai tidak jelasnya rencana tata ruang wilayah (RTRW) pemerintah daerah.
Masalahnya, setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (22/11) pekan lalu, yang menyerahkan penentuan wilayah pertambangan menjadi wewenang pemerintah daerah, bukankah semua persoalan wilayah pertambangan itu akan menjadi semakin parah?
Peta bisa berubah
Bob Kamandanu, Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), termasuk yang khawatir dengan putusan MK itu. Menurutnya, penentuan wilayah pertambangan oleh pemerintah daerah (pemda) justru berpotensi menimbulkan ketidakpastian baru bagi pengusaha. “Peta wilayah pertambangan di setiap daerah bisa berubah,” ujarnya.
Sukhyar, Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, juga khawatir dengan putusan MK itu. Soalnya, aktivitas membuat wilayah pertambangan membutuhkan kemampuan pemetaan geologi, baik dari aspek sumber daya manusia (SDM) maupun ketersediaan teknologi.
Soal kemampuan daerah menentukan wilayah pertambangan ini juga dicemaskan Ladjiman Damanik, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo). Sebab, kualitas aparat di bidang pertambangan di daerah masih minim dan tidak kompeten. Buktinya, “Ada kepala dinas pertambangan yang pendidikannya sarjana agama atau sarjana pendidikan,” katanya.
Tidak hanya itu, “kekuasaan” baru pemda dalam menentukan wilayah pertambangan juga akan membingungkan pengusaha. Wewenang ini sangat membuka kemungkinan biaya bagi pengusaha bertambah.
Selama ini, pemetaan wilayah pertambangan besar memang dilakukan Badan Geologi Kementerian ESDM yang memiliki SDM dan teknologi yang diperlukan. Penentuan wilayah pertambangan tanpa melakukan pemetaan seismik geologis yang akurat bisa membuat runyam RTRW. Pasalnya, daerah yang seharusnya cocok untuk aktivitas perkebunan bisa dialihkan untuk aktivitas penambangan yang belum tentu maksimal skala ekonominya.
Dan, skala ekonomi erat kaitannya dengan besaran mineral yang terkandung. “Penentuan wilayah pertambangan seharusnya mengikuti batas geologis mineral yang terkandung di dalamnya dan bukan wilayah administratif daerah,” ujar Sukhyar. Makanya, dalam penentuan IUP, yang harus didahului oleh penentuan wilayah IUP (WIUP), kewenangan mengikuti batas geologis mineral dan skala usahanya.
Hanya, Bupati Sumbawa Barat Zulkifli Muhadli menyatakan, dampak putusan MK yang memberikan kewenangan menentukan wilayah pertambangan (WP), wilayah usaha pertambangan (WIP), dan (WIUP) mineral logam dan batubara ke tangan pemda, sebenarnya, tergantung kebijakan kepala daerah masing-masing.
Memang, Zulkifli mengakui, putusan MK tersebut bisa saja menjadi pedang bermata dua bagi pelaku usaha maupun daerah. Jika kepala daerah memanfaatkan kewenangan barunya dengan itikad yang tidak baik, putusan MK itu bisa menjadi hal yang negatif.
Soalnya, kalau manajemen penentuan wilayah pertambangan tidak dilakukan dengan yang baik, izin usaha yang keluar bisa tumpang tindih. “Ini, kan, sudah terjadi di beberapa daerah,” kata Zulkifli.
Cuma, bila kepala daerah menjalankan kewenangannya dengan benar dan bisa mengatur sumber daya alam untuk dimanfaatkan bagi rakyatnya, “kekuasaan” baru kepala daerah ini justru bisa menata sektor pertambangan di daerah yang semrawut. Ujung-ujungnya adalah, negara akan semakin maju lantaran rakyatnya semakin sejahtera.
Tapi, Isran Noor, Bupati Kutai Timur, tidak sepakat jika dampak putusan MK tersebut akan membikin sektor pertambangan di daerah semakin semrawut. “Itu salah kaprah. Justru ini akan memudahkan pelayanan karena tidak harus bolak-balik ke pusat,” tegas Ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apeksi) yang juga pemohon uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) ini.
Selain itu, wewenang penetapan wilayah pertambangan oleh pemda juga sejalan dengan kebijakan RTRW yang sifat penentuannya juga bottom-up dari daerah ke pusat.
Robikin Emhas, kuasa hukum Isran Noor dalam uji materiil UU Minerba, menambahkan, dengan adanya putusan MK, pemda bisa lebih cepat melakukan pelayanan kepada masyarakat, termasuk mengeluarkan IUP. Sebab, berbekal putusan MK, pemda memiliki kewenangan untuk menentukan WP, WUP, dan WIUP di daerahnya. “Pemda bisa melakukan sesuatu terhadap potensi sumber daya alam mineral dan batubara di daerahnya,” ujarnya. “Birokrasi juga lebih tertata”.
Perlu pengawasan
Meski pemda memiliki kewenangan menentukan WP, Robikin mengatakan, pemerintah pusat tetap berwenang menetapkan kriteria dan syarat penentuan wilayah tambang. Inilah yang sebenarnya menjadi domain kewenangan pemerintah pusat. Karena itu, potensi kerusakan lingkungan dan banyaknya tumpang tindih IUP bukan 100% kesalahan pemda. Justru ini kesalahan pemerintah pusat yang tidak memberikan panduan dan melakukan pengawasan dengan baik.
Untuk yang satu ini, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Syahrir Abu Bakar termasuk yang sependapat. Konsekuensi dari putusan MK tersebut, pemerintah pusat harus berperan sebagai pembina sekaligus pengawas pemerintah daerah. Toh, amar putusan MK tetap menyatakan, pemda harus mengajukan wilayah pertambangan yang ditentukan untuk ditetapkan oleh pemerintah pusat. “Kami akan uji, bagaimana pemerintah pusat bisa memberikan pedoman kepada daerah dalam menentukan wilayah pertambangan di daerahnya,” imbuhnya.
Sesungguhnya, UU Minerba sudah mengatur bahwa pemerintah pusat bertugas untuk membikin pedoman dan prosedur, serta melakukan pengawasan dan pembinaan kepada daerah. Namun, tugas itu tampaknya tak pernah benar-benar dilakukan oleh pemerintah pusat. Mereka baru melakukan pengawasan setelah adanya ketentuan yang mengatur clear and clean bagi IUP.
Itu sebabnya, Vice Chairman Indonesia Mining Association (IMA) Tony Wenas, bilang, penentuan wilayah pertambangan seharusnya tetap jadi kewenangan pemerintah pusat. Kalau ditentukan pemda, itu menjadi terbalik. Dengan kewenangan menentukan WP, WUP, dan WIUP di tangan pemda, sulit untuk mensinkronkan penentuan antardaerah. Karena, cadangan mineral dan batubara sering tidak hanya di satu daerah, tapi di beberapa daerah.
Untuk meredam kegelisahan pelaku usaha, Thamrin Sihite menegaskan, meski daerah punya kewenangan menentukan wilayah tambang, penetapan WP, WUP, serta WIUP tetap di tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat bisa menganulir apa yang telah ditentukan pemda jika memang tak sesuai dengan peraturan dan kriteria teknis yang ditetapkan.
Dan, pemerintah pusat juga masih memiliki senjata lewat penetapan RTRW. UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang mewajibkan penetapan RTRW kabupaten/kota dan provinsi harus terlebih dulu ditinjau oleh Kementerian Pekerjaan Umum (PU). “Pemda tetap tidak bisa semena-mena dalam menetapkan wilayah pertambangan,” imbuh Imam S Ernawi, Direktur Jenderal Penataan Ruang Kementerian PU.
Tapi, pemerintah tetap harus melakukan pengawasan ekstraketat. Sebab, tanpa pengawasan yang baik, bisa-bisa, pemda sewenang-wenang dalam menentukan wilayah pertambangan. Ujungnya, alih-alih berkurang, tumpang tindih izin usaha pertambangan kian marak.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 10 - XVII, 2012 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News