Reporter: Umar Idris, Amal Ihsan Hadian, Dikky Setiawan, Herry Prasetyo, Maria Elga Ratri | Editor: Imanuel Alexander
JAKARTA. Sejak era otonomi daerah berlaku, kepala daerah punya wewenang mengeluarkan izin pertambangan. Tapi, ada “syarat” agar izin tersebut terbit, mulai dari biaya pengurusan hingga setoran untuk setiap ton bijih mineral yang akan diekspor.
Pemerintah daerah (pemda) punya “kekuasaan” baru: menentukan wilayah pertambangan yang selama ini menjadi wewenang pemerintah pusat. Sebelum ini, pemerintah pusat hanya mengajak koordinasi pemda untuk membahas wilayah tambang yang telah mereka tentukan.
Efek dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan wewenang anyar kepada pemda itu adalah, sangat mungkin penerbitan izin-izin usaha pertambangan (IUP) baru oleh daerah yang sebelumnya terhambat bisa agak lancar.
Mulai 22 November 2012, seiring dengan kelahiran putusan MK tersebut, pemda sudah bisa menentukan wilayah pertambangan (WP), wilayah usaha pertambangan (WUP), serta luas dan batas wilayah izin usaha pertambangan (WIUP).
Nah, jika WP belum beres, sudah pasti WUP dan WIUP tak bisa ditetapkan. Dan, jangan berharap IUP baru bisa dikeluarkan, walaupun pemberian izin ini merupakan wewenang penuh kepala daerah.
Kewenangan kepala daerah mengeluarkan IUP tak lepas dari kehadiran Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) pun mengikuti konsep otonomi daerah. Beleid ini memberikan wewenang bupati dan walikota menerbitkan IUP. Gubernur bisa mengeluarkan IUP jika wilayah pertambangan melintasi batas wilayah kabupaten atau kotamadya.
Tidak mengherankan, muncul istilah “raja-raja kecil” di daerah pasca pemberlakuan otonomi daerah karena bupati dan walikota lebih berkuasa ketimbang gubernur, bahkan pemerintah pusat sekalipun. Dan, memanfaatkan “aji mumpung”, kepala daerah pun ramai-ramai mengeluarkan IUP sebanyak-banyaknya. Tak heran, terjadi tumpang tindih lahan pertambangan. Betapa tidak? “Ada kepala daerah yang memberikan izin usaha dengan tanggalnya dibuat mundur,” ungkap Hikmahanto Juwana, pakar hukum tata negara yang sering diajak berkonsultasi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) soal pertambangan.
Buntutnya, karut-marut izin pertambangan ini melahirkan sengketa hukum. Kasus terbaru ialah gugatan Churchill Mining Plc. Perusahaan tambang asal Inggris ini menuntut ganti rugi dengan nilai fantastis, Rp 18 triliun kepada Pemerintah RI di pengadilan arbitrase. Dasarnya, empat IUP milik Ridlatama Group, anak usaha Churchill, dicabut oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur.
Gugatan serupa berpotensi terjadi dari daerah lain. Tengok saja data Kementerian ESDM, per 13 November 2012 lalu, baru 5.120 IUP yang dinyatakan clean and clear. Sisanya yang 5.540 IUP belum mengantongi status clear and clear.
Bandingkan dengan jumlah IUP sebelum era otonomi daerah. Data Indonesia Mining Association (IMA) menunjukkan, izin pertambangan ketika itu hanya ada sekitar 3.000 - 4.000 IUP. “Otonomi daerah sangat berdampak pada industri pertambangan,” kata Tony Wenas, Vice Chairman IMA.
Menurut Tony, praktik di lapangan, banyak kepala daerah yang mengobral IUP dengan luas WIUP hanya 100 hektare hingga 200 hektare. Padahal idealnya, dalam satu wilayah konsesi, hanya sekitar 20% dari luas WIUP yang boleh ditambang. Sisanya untuk daya dukung lingkungan dan sarana infrastruktur. Jadi, kalau ada luas WIUP cuma 100 hektare, berarti semua areal ditambang. Sebab, jika cuma menambang di kawasan seluas 20 hektare, jelas kecil sekali wilayahnya.
Tak hanya itu. Banyak pula IUP yang diperjual belikan oleh pemda. “Saya tidak menyalahkan daerah, tapi faktanya, kan, banyak izin pertambangan yang diterbitkan dengan pengelolaan dan pengawasan yang kurang benar,” imbuh Tony.
Marak pungutan
Lidjiman Damanik, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo), menambahkan, sejak era otonomi daerah, pelaku usaha mineral di daerah menghadapi banyak pungutan. Pungutan ini makin menjadi menjelang pemilihan kepala daerah.
Ada tiga jenis pungutan di daerah yang banyak pengusaha mineral keluhkan. Pertama, kepala daerah menerapkan tarif sebesar Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar untuk setiap IUP. Kedua, kepala daerah meminta saham kosong perusahaan tambang atas nama keluarga atau tim suksesnya sebagai syarat penerbitan IUP. Ketiga, kepala daerah meminta jatah dari setiap ton bijih mineral yang akan diekspor. “Ada bupati yang meminta jatah sebesar US$ 3 per ton,” beber Lidjiman.
Zulkifli Muhadli, Bupati Sumbawa Barat, tidak menampik untuk setiap IUP yang daerah keluarkan ada ongkosnya. Tapi, biaya itu untuk masyarakat dan lingkungan di sekitar tambang. “Jika dana itu masuk ke kantong pribadi kepala daerah, baru namanya itu gratifikasi atau korupsi,” tegas dia.
Biasanya, setiap daerah memberlakukan persyaratan bagi investor pertambangan yang mau masuk ke wilayahnya. Investor wajib memberikan kontribusi bagi masyarakat setempat, dan ongkos itu bukan biaya tinggi alias high cost. Sebab, pengusaha tambang mendapat izin usaha tanpa harus membeli dan memperoleh hasil dari lahan tambang tersebut.
Di Sumbawa Barat, memang ada kebijakan seperti itu. Investor pertambangan yang masuk, setelah mengantongi IUP harus berkomitmen menyiapkan dana untuk sarana listrik, air bersih, olahraga, kesehatan, dan infrastruktur bagi masyarakat di lokasi tambang mereka.
Kebijakan ini bertujuan agar investor berbaur dengan masyarakat sekitar. Soalnya, banyak investor yang akan masuk untuk membuka lahan tambang, tapi ditolak masyarakat sekitar. Alasannya, investor pertambangan itu tidak memberi kontribusi kesejahteraan kepada penduduk setempat. “Untuk kebutuhan masyarakat sekitar tambang, bukan pribadi kepala daerah,” kata Zulkifli.
Kurang pengawasan
Di Sumbawa Barat, Zulkifli menuturkan, pemerintahannya juga memberlakukan syarat bagi perusahaan tambang yang ingin mendapat IUP harus memberikan saham kosong perusahaan itu minimal 10% untuk daerah mereka.
Namun, kepemilikan saham itu bukan atas nama pribadi melainkan badan usaha milik daerah (BUMD). Dividen dari hasil kepemilikan saham itu akan digunakan untuk kebutuhan masyarakat dan memperbesar struktur APBD. Jadi, “Tidak semata-mata investor mencari keuntungan, tapi juga memberikan kontribusi nyata bagi daerah,” tambah Zulkifli.
Hanya, Andrinof Chaniago, pakar kebijakan publik, bilang, karut-marut kebijakan pertambangan tidak melulu kesalahan pemda. Keadaan ini terjadi akibat dari kurangnya pengawasan pemerintah pusat terhadap praktik-praktik perizinan di daerah. “Misalnya, sektor tambang batubara, tidak ada yang awasi hasil produksi di lapangan,” katanya.
Dalam jangka pendek, pemerintah pusat dan daerah harus menyiapkan tenaga ahli di bidang geologi untuk memperkuat kebijakan daerah dalam menentukan wilayah pertambangan. Pasalnya, penentuan wilayah tambang harus berdasarkan penelitian geologi. “Dengan keputusan MK, geolog berperan lebih besar,” kata Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Sukhyar.
Apalagi, kandungan mineral dan batubara seringkali tidak hanya ada di satu daerah. “Bisa-bisa seluruh bupati harus berkumpul di satu ruangan untuk menentukan wilayah pertambangan,” ujar Tony.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 10 - XVII, 2012 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News